PENYAKIT MILK FEVER PADA SAPI PERAH
Selasa, 31 Maret 2015
Edit
Milk fever dapat disebut juga paresis puerpuralis,
hypocalcaemia, calving paralysis, parturient paralysis, dan parturient
apoplexy. Milk fever adalah penyakit metabolisme pada hewan yang terjadi pada
waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya ditandai dengan
penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan bagian
tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Hypocalcaemia yaitu suatu kejadian kelumpuhan yang terjadi sebelum, sewaktu atau
beberapa jam sampai 72 jam setelah partus.
Milk Fever adalah penyakit gangguan
metabolisme yang menimpa sapi-sapi betina yang akan atau sedang
melahirkan ataupun dekat sesudah melahirkan. Sebagian besar penyakit
ini menimpa sapi-sapi yang sedang berproduksi. Milk
Fever merupakan penyakit metabolisme yang paling banyak ditemukan pada sapi
perah yang baru saja melahirkan dan terutama yang berproduksi tinggi.
1. HEWAN YANG
DISERANG
Biasanya kejadian ini menyerang sapi pada masa akhir
kebuntingan atau pada masa laktasi. Kasus ini sering dialami sapi yang
sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh (Girindra 1988).
Tetapi di beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi
dara yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah masa laktasi.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa biasanya kasus ini terjadi pada sapi
perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang
lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga. Subronto (2001) mengatakan bahwa
beberapa kejadian disertai syndrom paresis yang terjadi dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan sesudah melahirkan. Pada kasus yang ditemukan
dilapangan terjadi pada sapi perah yang melahirkan ketiga, tetapi berdasarkan
anamnese (cerita) dari pemiliknya pada partus yang kedua juga pernah mengalami
kasus ini.
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling sering
menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Holstain Frisian dan bangsa sapi
yang lain. Di negara yang maju peternakan sapi perahnya kejadian penyakit
mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa sebagai
suatu wabah dengan angka kejadian mencapai 90% dari populasi sapi
perah dikelompoknya. Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya penyakit
paresis puerpuralis ini pada induk sapi dapat terulang pada partus berikutnya.
2. PENYEBAB MILK
FEVER
Penyebab milk fever adalah kekurangan Ca
yang akut. Hal ini akan menimbulkan
gangguan metabolisme
mineral, yakni metabolisme Ca yang
bisa berakibat kepada seluruh tubuh. Penyebab terjadinya milk fever antara lain :
a. Adanya gangguan
produksi vitamin D. Pengambilan pakan yang berlebihan dalam mineral, kalsium
dan fosfor akan mampu menurunkan produksi vitamin D.
b. Hormon estrogen
dan steroid kelenjar adrenal dapat menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
mobilisasi mineral tersebut dari tulang.
c. Mobilisasi
mineral Ca dan P ke dalam colostrum secara tiba-tiba pada saat sapi menjelang
melahirkan. Kadar kalsium turun dari normalnya 9-12 mg menjadi 3-7 mg dan kadar
fosfor turun dari normalnya 5-6 mg/dl menjadi 1 mg/dl.
d. Teori defisiensi
hormon paratiroid merupakan efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon
tirokalsitonin mampu mengatur mukosa sel-sel usus dalam menyerap dan mengatur
kadar Ca dalam darah. Hormon ini terbiasa mengatur penyerapan kalsium dalam
jumlah kecil saja.
e. Adanya gangguan
absorbsi Ca dan ketersediaan mineral tersebut dalam darah.
f. Pada sapi yang
mengalami penurunan nafsu makan maka jumlah kalsium yang diserap juga
berkurang.
g. Absorbsi kalsium
yang rendah mungkin disebabkan oleh PH yang tinggi, kadar lemak pakan yang
tinggi dan kemampuan yang rendah dalam menyerap Ca pada usus sapi tua.
h. Rendahnya
kemampuan sapi tua untuk memobilisasi Ca dari tulang.
Penyebab yang jelas belum ditemukan, tetapi biasanya ada
hubungannya dengan produksi yang tinggi secara tiba-tiba pada sapi yang baru
melahirkan. Sapi yang menderita penyakit ini di dalam darahnya dijumpai adanya
hipocalcaemia yaitu penurunan kadar kalsium yang cepat di dalam serum darah
penderita (Hardjopranjoto 1995). Subronto (2001) mengatakan bahwa dahulu gangguan ini
diduga disebabkan oleh adanya bendungan pada sistem syaraf, alergi, penyakit
neuro muskuler, penyakit keturunan, penyakit ketuaan, penyakit infeksidan
penyakit defisiensi makanan yang menyangkut kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin
D dan protein.
Pada keadaan normal kadar Ca dalam darah adalah 9-12
mgram persen. Pada keadaan subklinis kadar Ca dalam darah 5-7 mgram
persen dan pada kejadian hypocacaemia kadar ion Ca dalam darah 3-5 mgram
persen. Girindra (1988) mengatakan bahwa jumlah kalsium yang terdapat dalam
darah dan cairan ekstra sel hanya kira-kira 8 gram, sedangkan untuk keperluan
laktasi dalam satu hari dibutuhkan 3 x jumlah itu. Jadi kekurangan
kalsium jelas merupakan predisposisi kejadian hypocalcaemia.
Kenyataannya hypocalcaemia sering diikuti dengan
hipofosfatemia, hipermagnesemia atau hipomagnesemia dan hiperglicemia.
Penurunan kadar kalsium dan posfor ini adalah sebagai akibat dari pemakaian
mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk sintesa air susu
dalam ambing dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran.
Subronto (2001) mengatakan bahwa adanya hypocalcaemia akan diikuti oleh
perubahan kadar fosfor dan gula dalam darah. Kadar fosfor plasma yang
rendah diakibatkan oleh penurunan penyerapan fosfor anorganik dari usus.
Mungkin pula disebabkan oleh meningkatnya sekresi parathormon, hingga ekskresi
fosfor meningkat.
Pada sapi yang baru melahirkan terbukti kadar hormon
tersebut meningkat, sebanding dengan penurunan kadar fosfat di dalam darahnya.
Kenaikan parathormon akan diikuti oleh kenaikan pembongkaran kalsium dalam
tulang, yang dalam hal ini dapat dilihat dari ada tidaknya kenaikan hidroksi
prolin di dalam kemih. Hidroksi prolin merupakan hasil pemecahan kalogen.
Dalam hal ini kadar magnesium dalam serum darah mempengaruhi gejala yang
timbul pada sapi perah. Jika kadar magnesium dalam serum normal atau
lebih tinggi maka gejala tetani dan eksitasi akibat hipocalcaemia akan diikuti
oleh relaksasi, otot lemah, depresi dan koma.
Jika kadar magnesium rendah dalam serum maka akan
terlihat kekejangan selama beberapa waktu. Berkurangnya kadar magnesium dalam
plasma darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena:
a. pembebasan
magnesium bersama air susu yang besarnya 0.1 g dan berkurangnya penyerapan
magnesium lewat dinding usus.
b. Gangguan
terhadap metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan berkurangnya kadar
magnesium dalam plasma darah.
Bila kadar magnesium dalam serum hewan yang menderita
hypocacaemia tidak menurun atau lebih tinggi maka gejala eksitasi dan tetani
akan segera diikuti oleh relaksasi. Otot-otot kelihatan melemah, depresi
dan pada akhirnya koma. Perbandingan Ca:Mg bisa berubah dari 6:1 menjadi
2:1 dan dalam perbandingan ini efek narkase magnesium nyata dapat dilihat.
Hypocalcaemia dapat menghambat ekskresi insulin sehingga pada kasus ini
biasanya selalu diikuti kenaikan kadar glukosa darah (Girindra 1988).
Subronto (2001) mengatakan bahwa kenaikan moderat kadar
glukosa dalam darah (hiperglisemia) dijumpai pada sapi yang baru melahirkan dan
hewan tidak memperlihatkan gejala klinis. Pada sapi yang menderita
paresis berat kadar glukosanya dapat mencapai 160 mg/dl. Hal ini disebabkan
oleh terhambatnya sekresi insulin oleh karena turunnnya kadar kalsium darah.
Selain itu hyperglisemia juga dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi
hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel A dari pankreas dan berfungsi untuk
menaikkan kadar glukosa darah serta meningkatkan pembongkaran glikogen hati.
Glukagon juga mampu merangsang enzim adenil siklase
di dalam hati, hingga proses glikogenolisis ditingkatkan dan menghambat sintesa
glikogen dari UDP-glukosa (UDP, uridin difosfat). Kadang-kadang dalm milk
fever juga terjadi penurunan kadar potassium. Penurunan kadar ion K tersebut
sebanding dengan lamanya sapi tidak dapat berdiri. Makin lama berbaring
makin besar penurunan ion K. Sapi yang terlalu lama berbaring oleh
rusaknya sel-sel otot akan diikuti kenaikan kadar SGOT.
Pada kasus milk fever kadang-kadang kenaikan enzima
tersebut mencapai 10%. Kemungkinan faktor genetis yang berhubungan dengan
produksi susu yang tinggi merupakan penyebab lain dari penyakit paresis
puerpuralis. Pada sapi perah yang pernah menderita penyakit ini dapat
menurunkan anak yang juga mempunyai bakat menderita paresis puerpuralis.
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post partus. Akan tetapi
dari laporan bahwa penyakit ini dapt juga terjadi beberapa jam sebelum partus
atau beberapa hari setelah partus. Penyakit ini juga dapat terjadi pada
induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia) karena kurangnya
kekuatan untuk mengeluarkan fetus. Kasus yang terjadi di lapangan mulai
terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi benar-benar ambruk baru lima
hari.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa
teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering
terjadi hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis.
a. Hormon
parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah (defisiensi),
karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral dalam darah
khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus
paresis puerpuralis. Berkurangnya aktivitas parathormon pada saat
kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
b. Stres melahirkan
menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam menyerap
mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium dalam
darah. Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar
kalsium dalam darah. Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan
oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.
c. Waktu proses
kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam
kolostrum. Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari
tulang dalam tubuh induk atau dari darah. Rendahnya penyerapan kalsium
dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan
adanya gangguan pada dinding usus. Penurunan nafsu makan pada induk yang
sedang bunting mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan
penyediaan kalsium dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan
kalsium juga rendah. Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat
menurun pada induk sapi yang sudah tua. Pada sapi yang masih muda 80%
kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap
usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi
dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium. Pada sapi yang sudah
tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium yang ada dalam pakan.
d. Persediaan
kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur
sapi. Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat
disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam
menyediakan kalsium hanya 2-5%.
e. Vitamin D
berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis. Gangguan terhadap
produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D
dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena vitamin D mengatur
keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi
kalsium dari tulang yang masih muda. Vitamin D yang aktif di dalam
metabolisme kalsium dan fosfor adalah vitamin D3
(25-Hydroxycholecalciferol).
f. Hormon estrogen
dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar
adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau
mobilisasi kalsium dari tulang muda. Pada sapi bunting aktifitas estrogen
plasma meningkat sampai satu bulan sebelum melahirkan. Peningkatan
berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun
tajam 24 jam sebelum melahirkan.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya paresis puerpuralis yaitu :
a. Produksi susu
tinggi. Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan
kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi. Akibatnya kadar
kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti
gejala paresis puerpuralis.
b. Umur.
Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat
sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat
pula. Sedangkan kemampuan mukosa usus untuk menyerap kalsium makin
tua umurnya makin menurun.
c. Nafsu
makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun
nafsu makannya swampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal ini
mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun,
akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah
menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan nafsu makan
mungkin juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase
terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran. Keadaan ini
dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam
darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mgram persen menjadi 4-5 mgram
persen.
d. Ransum
makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai
perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah ransum yang
dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi bunting tua yang
diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis puerpuralis
sesudah melahirkan.
Pada awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah,
ketakutan dan nafsu makan menghilang. Kemudian terlihat gangguan
pengeluaran air kemih dan tinja. Kadang-kadang terlihat tremor dan
hipersensitivitas urat daging di kaki belakang dan kepala (Girindra 1988).
Penyakit ini ditandai dengan adanya penurunan kadar
kalsium di dalam darah, yang normalnya 9-12 mg/dl menjadi kurang dari 5 mg/dl.
Sebanyak 90% kejadian ditemukan dalam 48 jam setelah proses kelahiran. Jumlah
kejadian penyakit akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur sapi perah.
Milk Fever biasanya ditemukan pada sapi perah yang telah beranak lebih dari 3
kali. Kejadian penyakit 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari
induk yang pernah mengalami Milk Fever. Gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit
milk fever antara lain :
a. Sapi nampak gusar dalam waktu yang singkat, kemudian kaki
belakang nampak lemah, sulit digerakkan, gerakkan rumen terhenti
dan nafsu makan hilang.
b. Akhirnya sapi menjadi lumpuh. Kelumpuhan ini bisa terjadi
beberapa hari sebelum ataupun sesudah melahirkan.
c. Berbaring terus menerus dengan posisi seperti
sapi yang sehat, tetapi lehernya dilipat dan kepalanya
diletakkan disisi tubuhnya.
d. Reaksi terhadap lingkungan tak sempurna.
e. Tak bisa menelan dan ludah keluar dari mulut.
f. Bola mata setengah tertutup.
g. Temperatur tubuh menurun sampai 35 Âșc.
h. Sapi nampak seperti tidur nyenyak.
i. Dan konstipasi.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan gejala pertama yang
terlihat pada penderita adalah induk sapi mengalami sempoyongan waktu berjalan
atau berdiri dan tidak adanya koordinasi gerakan dan jatuh. Biasanya
hewan itu selalu berusaha untuk berdiri. Bila pada stadium ini induk sapi
dapat diadakan pengobatan gejala paresis tidak akan muncul.
Bila pengobatan belum dilakukan gejala berikutnya adalah
induk sapi penderita berbaring dengan pada sebelah sisinya atau pada tulang
dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan kepalanya
dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan atau kepala diletakkan disebelah sisi
dari tubuh diatas bahu/scapula (kurva S) namun ada juga yang tidak
disertai kurva S. Matanya mejadi membelalak dan pupilnya berdilatasi, kelihatan
anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka terhadap sakit dan
suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam batas
normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut jantung
meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi.
Bila pengobatan ditunda beberapa jam kemudian induk
berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada pertolongan hewan
bertambah depresi urat daging melemah dan berbaring dengan posisi lateral
(tahap komstose). Hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat gangguan
berbaring terus terjadi timpani. Pulsa meningkat (sampai lebih dari
120 x), pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap cahaya menghilang dan akhirnya
beberapa jam terjadi kematian.
Subronto (2001) mengatakan bahwa gambaran klinis milk
fever yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar
kalsium di dalam darah. Dikenal 3 stadia gambaran klinis yaitu stadium
prodromal, berbaring (rekumbent) dan stadium koma.
a. Stadium 1
(stadium prodromal). Penderita jadi gelisah dengan ekspresi muka yang
tampak beringas. Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinta
terhenti. Meskipun ada usaha untuk berak akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil. Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat
hipersensitif. Otot kepala maupun kaki tampak gemetar. Waktu
berdiri penderita tampak kaku, tonus otot alat-alat gerak meningkat dan bila
bergerak terlihat inkoordinasi. Penderita melangkah dengan berat, hingga
terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan jatuh, bila jatuh usaha bangun
dilakukan dengan susah payah dan mungkin tidak akan berhasil.
b. Stadium 2
(stadium berbaring/recumbent). Sapi sudah tidak mampu berdiri, berbaring
pada sternum dengan kepala mengarah ke belakang hingga dari belakang seperti
huruf S. Karena dehidrasi kulit tampak kering, nampak lesu, pupil mata
normal atau membesar dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau
hilang sama sekali. Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga
berkurang, otot jadi kendor, spincter ani mengalami relaksasi, sedang reflek
anal jadi hilang dengan rektum yang berisi tinja kering atau setengah
kering. Pada stadium ini penderita masih mau makan dan proses ruminasi
meskipun berkurang intensitasnya masih dapat terlihat. Pada tingkat
selanjutnya proses ruminasi hilang dan nafsu makan pun hilang dan penderita
makin bertambah lesu. Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan terlihat
sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa dingin dan
suhu rektal yang bersifat subnormal.
c. Stadium 3
(stadium koma). Penderita tampak sangat lemah, tidak mampu bangun dan
berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency). Kelemahan
otot-otot rumen akan segera diikuti dengan kembung rumen. Gangguan
sirkulasi sangat mencolok, pulsus jadi lemah (120 x/menit), dan suhu tubuh
turun di bawah normal. Pupil melebar dan refleks terhadap sinar telah
hilang. Stadium koma kebanyakan diakhiri dengan kematian, meskipun
pengobatan konvensional telah dilakukan.
Gejala klinis yang ditemukan dilapangan yaitu sapi mulai
ambruk kemarin tapi masih dapat berdiri kembali dan pada hari berikutnya tidak dapat berdiri walaupun sudah diinduksi
dengan menggunakan elektrocoxer. Temperatur tubuh 39.60
C. Temperatur tubuh ini sedikit naik, dimana suhu tubuh untuk sapi dewasa
38.5-39.20 C. Ekspresi wajah sapi lesu dengan
kepala terkulai di tanah dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan, mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi dan vasa injeksio yang kelihatan jelas pada
sklera mata.
Cuping hidung kering dan kusam, pada gusi atas dan bawah
serta lidah terdapat lepuh/ulkus seperti kejadian sariawan dengan mukosa mulut
rose. Auskultasi terhadap terhadap paru-paru didapatkan hasil bahwa suara
vesikuler pada inspirasi lebih dominan, keadaan ini berhubungan dengan kondisi
sapi yang berbaring. Frekuensi pernafasan juga naik drastis 3 kali lipat
yaitu sebanyak 106 x/menit dimana pada keadaan yang normal hanya 10-30 x/menit.
Beberapa penyakit komplikasi dapat timbul mengikuti
kejadian hypocalcaemia, karena kondisi penderita yang terus berbaring
diantaranya :
1. Dekubites, kulit lecet-lecet. Luka ini
disebabkan karena infeksi yang berasal dari lantai, dapat menyebabkan
dekubites.
2. Perut menjadi gembung atau timpani, karena lantai yang
selalu dingin mendorong terjadinya penimbunan gas dalam perut pada penderita
yang selalu berbaring.
3. Pneumonia. Kerena terjadi regurgitasi pada waktu
memamah biak disertai adanya paralisa dari laring dan faring. Sewaktu
menelan makanan, sebagian makanan masuk ke dalam paru-paru dan dpat diikuti
oleh pneumonia pada penderita.
Jika kejadian kelumpuhan terjadi sebelum partus
kemungkinan penyakit pembandingnya diantaranya metritis septika, akut mastitis,
milk fever dan hidrops, sedangkan jika kelumpuhan setelah melahirkan
kemungkinan penyakit pembandingnya yaitu calving paralysis, calving injuri,
ruptura ligamen sendi belakang, septic metritis & vaginitis, ruptura uteri,
paralysis obturatorius, ruptura tendon dan otot, kekejangan otot, toxemia,
arthritis akut, dan fraktura pelvis.
Prognosa terhadap kasus hypocalcaemia yaitu
fausta-infausta. Fausta jika kejadian hypocalcaemia cepat ditangani (95%
sembuh) dan infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan pertama yang
tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik. Kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan sangat membantu kesembuhan .
kesembuhan spontan hampit tidak dimungkinkan.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan terhadap sapi
ini adalah melakukan pemeriksaan darah. Darah dapat diambil lewat vena
jugularis. Darah yang diambil diperiksa terhadap kadar kalsium darah.
Kalsium dalam serum dapat diukur dengan metoda sangat sederhana sampai metoda
yang mutakhir. Yang termasuk sederhana ialah dengan metoda Clark &
Collib yang menggunakan KmnO4 untuk titrasi. Lainnya ialah
dengan metoda “kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang
kemudian dibandingkan dengan warna standar.
4. PENGOBATAN
Pengobatan dengan injeksi preparat-preparat Ca secara
intravenous 500 cc, dengan larutan calsium gluconate 20 %. Pengobatan
dilakukan dengan cara menyuntikkan garan kalsium. Sediaan kalsium yang dipakai
antara lain:· Larutan kalsium khlorida 10% disuntikkan secara intra vena,
pemberian yang terlalu banyak atau terlalu cepat dapat mengakibatkan heart
block. Larutan kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 1:1 terhadap berat badan
disuntikkan secara intra vena jugularis atau vena mammaria selama 10-15 menit.
Campuran berbagai sediaan kalsium seperti Calphon Forte, Calfosal atau
Calcitad-50
Bila kasus ini disertai hipomagnesemia sebaiknya disuntik
dengan kombinasi kalsium boroglukonat dan magnesium boroglukonat yang terdiri
dari kalsium boroglukonat 200 gram, magnesium boroglukonat 50 gram dan aquades
sampai 1000 ml selanjutnya dibuat larutan steril. Dosis pemberian yaitu
200-500 ml secara intravena. Pada kasus paresis puerpuralis yang
disertai ketosis maka pengobatan dilakukan dengan pemberian kalsium
boroglukonat ditambah dekstrose 5% sebanyak 250-500 ml secara intravena.
Bila pengobatan ini tidak berhasil dapat dicoba
pengobatan dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udar ke dalam keempat
kwartir ambing hingga tekanan intra-mamer meningkat dan menghentikan
pengeluaran air susu berikutnya yang berarti menghentikan penghentian
pengurasan unsur kalsium ke dalam ambing.
Pengobatan cara ini dapat diulangi setiap 6-8 jam.
Pengobatan dengan cara ini terbukti telah mengurangi kematian sebesar 15%.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti dekubites, gembung perut atau pneumonia
maka induk penderita sebaiknya selalu dibolak-balik dan diberikan jerami yang
cukup tebal sebagai alas berbaring.
Evaluasi pengobatan dengan penyuntikan kalsium ini
diajurkan mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop. Kalau tidak
digunakan stetoskop, secara visual dapat diikuti dengan melihat reaksi
penderita, kecepatan pulsus venosus, gerak bola mata, dan tidaknya eksitasi.
Jika terjadi keracunan sediaan kalsium yang harus segera
dilakukan adalah menghentikan penyuntikan, memberikan masase jantung,
memberikan sediaan yang berefek pada jantung (MgSO4, atropin), dan
sediaan yang dapat mengikat (chelating agent) kalsium misalnya Na-EDTA.
5. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap kejadian milk fever sangat
dipengaruhi oleh jumlah kalsium yang dapat diserap dan bukan pada unsur fosfor
atau imbangan Ca:P. Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk memelihara
fungsi faali (2.5 g/100 lb). Yang ideal jumlah Ca dalam pakan sehari
adalah 20 gram saja.
Banyak sapi yang mengalami milk fever oleh pemberian
kalsium yang tinggi, tidak terganggu oleh pembatasan pemberian unsur
tersebut. Di daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan
sehari-hari pemberian mineral blok yang mengandung kalsium-fosfat tidak
dianjurkan untuk sapi yang bunting sarat. Setelah melahirkan pemberian garam
kalsium harus ditingkatkan. Pemberian vitamin D2 20-30 juta
IU/hari 3-8 hari pre partus mampu menurunkan kejadian milk fever. Vitamin
D3 sebanyak 10 juta IU yang disuntikkan intravena sekali saja 28
hari sebelum malahirkan dapt pula menurunkan kejadian milk fever tanpa diikuti
deposisi kalsium dialat-alat tubuh.
Sumber:
Girindra, A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. PAU-IPB.
Bogor.
Harjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak.
Airlangga University Press. Surabaya.
Subronto. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.