SENYAWA AFLATOKSIN PADA TERNAK DAN PAKANNYA
Selasa, 31 Maret 2015
Edit
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik
(mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan
karsinogenik bagi manusia dan hewan. Spesies penghasilnya adalah segolongan
fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus,
terutama A. flavus (dari sini nama “afla” diambil) dan A. parasiticus
yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat
tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah,
kedelai, pistacio, atau bunga matahari) , rempah-rempah (seperti ketumbar,
jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan
jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak
yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat
mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini
(wikipedia.org).
Aflatoksin merupakan nama sekelompok senyawa yang
termasuk mikotoksin, bersifat sangat toksik. Aflatoksin diproduksi terutama
oleh jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Wrather
dan Sweet, 2006), juga dihasilkan oleh beberapa jamur lain misalnya A.
nomius (Kurtzman et al.,1987), A. pseudotamarii (Ito et
al., 2001), A. ochraceoroseus, Aspergillus SRCC 1468, Emericella
astellata, dan Emericella spesies SRCC 2520 (Cary et al.,2005).
Kontaminasi aflatoksin dalam bahan makanan maupun pakan ternak lebih sering
terjadi di daerah beriklim tropik dan sub tropik karena suhu dan kelembabannya
sesuai untuk pertumbuhan jamur (Lanyasunya et al., 2005). Aflatoksin
memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dibandingkan dengan mikotoksin
lain. Menurut Internasional Agency for Research on Cancer (IARC, 1988
dalam Suryadi et al., 2005), aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa
yang mampu menjadi penyebab terjadinya kanker pada manusia.
Aflatoksin berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan
bersifat imunosupresif (Lanyasunya et al., 2005).
Semua produk
pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar
toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan
faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan
tempat berkembang biak paling ideal. Aflatoksin ini
memiliki paling tidak 13 varian, Terdapat empat jenis aflatoksin yang telah
diidentifikasi yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B1
dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya
dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2
ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara..
Aflatoksin B1 bersifat paling toksik (Wrather dan Sweet, 2006). Metabolisme
aflatoksin B1 dapat menghasilkan aflatoksin M1, sebagaimana terdeteksi pada
susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin B1 (Lanyasunya et al., 2005).
Sifat senyawa
aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak pada suhu
panas, tahan sampai suhu antara 237-289 oC , sehingga sulit untuk mengurainya.
Yang umum dikenal ada 6 jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1, G2, M1 dan M2
dan yang paling dominan serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (AFB1).
Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan memproduksi aflatoksin yaitu :
nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% dan suhu (T)= 24
– 32,2o C. Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi
lingkungan yang tidak higienis, misalnya banyak tikus, serangga
gudang, burung dan lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain
yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang
penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus
sudah terjadi saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di
gudang.
Aflatoksin dan
dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan
ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan imun respon
(daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi,
mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati
serta menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi
manusia. Dampak terhadap manusia jika
terpapar oleh aflatoksin secara terus menerus dalam jumlah kecil dapat
menyebabkan kerusakan organ hati. Efek kronis lainnya, menurunkan respon
kekebalan, mudah terkena infeksi, sirosis hati, kanker hati (Groopman Dan
Kensler, 2005; Iarc, 1993). Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia
menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi
hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai
faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel
hati, timbul dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa
karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (RASYID, 2006).
1. Kontaminasi
Aflatoksin B1 pada Pakan Ternak
Secara umum, dilaporkan bahwa kontaminasi aflatoksin B1
pada pakan ternak relatif tinggi. Kadar aflatoksin B1 tertinggi ditemukan pada
pakan konsentrat ayam, sekitar 134,2 ppb. Di Jawa Barat, jagung di pabrik pakan
ternak ditemukan terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar rata-rata 125,65
ppb. Pakan ayam, baik untuk starter maupun grower, juga ditemukan
terkontaminasi aflatoksin dengan kisaran antara 11,5 sampai 53 ppb.
a. Kontaminasi
Aflatoksin B1 pada Kacang Tanah Lokal
Persentase sampel kacang tanah lokal dengan kandungan
aflatoksin B1 > 15 ppb secara umum ditemukan tertinggi pada tingkat pengecer
(pasar tradisional) kecuali di Kabupaten Cianjur dilaporkan persentase
tertinggi pada tingkat grosir (80 %). Pada musim hujan kandungan aflatoksin
pada biji kering di tingkat grosir dan pengecer pasar tradisional mencapai
lebih dari 5000 ppb.
b. Kontaminasi
Aflatoksin B1 pada jagung
Hasil penelitian yang dilaporkan pada tahun 2004
(Rachmawati, 2004; Yanuartin, 2004), ternyata dari 123 sampel jagung (lokal dan
import) untuk bahan pakan yang dikumpulkan dari berbagai sumber diantaranya
pabrik pakan, toko pakan, instansi Balai Pengujian Mutu Pakan, sebanyak 50
sampel mengandung aflatoksin B1 melebihi standar mutu yang ditetapkan SNI yaitu
> 50 ug/kg (> 50 ppb) atau sebanyak 40,7%. Jagung lokal diperoleh dari
Jawa Timur, Jawa Tengah (Purwokerto, Boyolali), Lampung, dan Makasar. Ternyata
jagung dari Makasar mengandung aflatoksin cukup tinggi kisaran hasil analisis
dari 4 sampel menunjukan nilai 218,0-517,0 ug/kg, jagung Jatim dari 13 sampel,
9 sampel diantaranya mengandung aflatoksin B1 > 50 ug/kg, dan kadar tertinggi 214 ug/kg, selanjutnya
jagung Lampung 3 dari 14 sampel mengandung aflatoksin B1 melebihi SNI (>50
ug/kg) dan yang tertinggi adalah 131ug/kg.
Sedangkan jagung impor (China, Thailand dan India) umumnya mengandung
aflatoksin lebih rendah dibandingkan jagung lokal, dan yang berasal dari China
terbaik kualitasnya dengan kadar aflatoksin dalam kisaran tidak terdeteksi
sampai 7,0 ug/kg, kemudian dari India dan kualitas yang kurang baik berasal
dari Thailand, 6 dari 8 sampel, aflatoksinnya > SNI, dengan kadar kisaran 43 sampai 82 ug/kg.
Selanjutnya laporan hasil penelitian tahun 2008
(Tangendjaja et al., 2008), sebanyak
46,32% (163 dari 356 sampel jagung)
yang dikumpulkan dari berbagai pabrik pakan di Indonesia mengandung
aflatoksin B1 melebihi SNI dengan rata-rata 58,8 ug/kg dan kadar yang tertinggi adalah 236 ug/kg. Jagung
lokal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah mengandung aflatoksin
cukup tinggi. Sedangkan jika dibandingkan jagung lokal dengan jagung import
(USA dan Argentina) , jagung lokal mengandung aflatoksin 7 kali lebih tinggi.
2. Efek pada
hewan
Aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver pada hewan (terutama aflatoksin B1)
yang ditandai dengan produksi telur, susu, dan bobot tubuh yang menurun. Untuk
mereduksi atau mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, dapat digunakan amoniasi dan beberapa
molekul penyerap.Pada ayam petelur,
babi, sapi, tikus, dan mencit,
toksin fumonisin sulit siserap namun penyebarannya sangat cepat dan ditemukan
dapat tertimbun di hati
dan ginjal hewan hingga
menyebabkan kerusakan oksidatif. Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan mampu
menimbulkan gejala imunosupresif
pada berbagai hewan.Pada ternak babi, senyawa zearalenone dapat menyebabkan kelainan reproduksi yang
disebut vulvovaginitis.
Ternak yang mengkonsumsi pakan yang mengandung A. flavus
dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan asupan aflatoksin akan terakumulasi
dalam tubuh, mengingat zat ini sulit didegradasi, sehingga dapat menimbulkan
gangguan kesehatan yang bersifat kronis. Menurut Etzel (2005), penderita
hepatitis B memiliki resiko lebih tinggi menderita kanker hepatoseluler apabila
makanannya mengandung aflatoksin B1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat
yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun
1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin
B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia. Terdapat dua jenis
efek toksisitas aflatoksin: akut dan kronis. Toksisitas akut terjadi tak lama
setelah mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis
relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek
kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma).
Sumber:
Cary, J.W.,
M.A. Klich, and S.B. Beltz. 2005. Characterization of aflatoxin- producing fungi outside of Aspergillus section Flavi. Mycologia
97 (2):425-432
Etzel, R.A.
2005. Mycotoxins. Linking Evidence and Experience. http://www.mold-survivor.com/jamamycotoxins.html
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/index.php/component/content/article/37-headlines/285-cemaran-aflatoksin-pada-bahan-pakan-serta-teknologi-deteksinya
Kurtzman,
C.P., B.W. Horn, and C.W. Hesseltine. 1987. Aspergillus nomius, a new aflatoxin-producing species related to Aspergillus
flavus and
Aspergillus tamarii. Antonie van Leeuwenhoek 53
(3):147-158
Lanyasunya,
T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination of
dairy feed
and milk on smallholder dairy farms in Kenya. Pakistan
Journal of
Nutrition 4 (3): 162-169
Rasyid A.
2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato selular (hepatoma). M Ked Nus. 39(2):100-103
Suryadi, H.,
K. Maryati, dan Y. Andi. 2005. Analisis Kuantitatif Aflatoksin dalam Bumbu Pecel secara KLT-Densitometri. www.ns.ui.ac.id/seminar 2005/Data/SPF-2003.pdf
Wrather,
J.A. and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center. Missouri Agricultural Experiment
Station. MU College of Agriculture, Food and Natural Resource.