Makalah Mastitis Pada Ternak Sapi
Rabu, 15 Oktober 2014
Edit
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu
yang cukup tinggi, untuk mendapatkan produk susu yang tinggi perlu
diperhatikan manajemen pemeliharaan dari sapi perah.
Salah satu paktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan
usaha beternak Sapi perah yaitu paktor kebersihan, terutama kebersihan
lingkungan baik itu kebersihan kandang maupun kebersihan ternak itu sendiri.
Lingkungan yang tidak bersih dan kotor dapat mengganggu aktivitas ternak dan
juga dapat menimbulkan bibit penyakit terutama pada saat pemerahan susu
pada Sapi perah. Salah satu penyakit yang dapat
menyerang sapi perah adalah penyakit mastitis.
Mastitis
adalah penyakit dari ambing yang disebabkan oleh peradangan kelenjar susu. Mastitis didefinisikan sebagai radang jaringan interna
kelenjar ambing. Istilah mastitis berasal dari kata ”mastos” yang artinya
kelenjar ambing dan ”itis” untuk inflamasi. Radang ambing hampir
selalu merupakan radang infeksi yang berlangsung secara akut, subakut maupun
kronik. Mastitis ditandai dengan kenaikan sel didalam air susu, perubahan
fisik, maupun susunan air susu, dan disertai atau tanpa disertai dengan
perubahan patologis atas kelenjarnya sendiri. Radang ambing merupakan penyakit
yang banyak sekali menimbulkan kerugian pada peternakan sapi perah. Kerugian
tersebut disebabkan oleh penurunan produksi air susu, ongkos perawatan dan
pengobatan, air susu yang harus dibuang karena tidak memenuhi persyaratan dan
kenaikan biaya penggantian sapi untuk kelangsungan produksi.
Sapi
betina yang menderita radang ambing, meskipun telah disembuhkan akan dipelihara
lebih pendek jangka waktunya dibandingkan dengan sapi betina yang tidak terkena
radang ambing. Di negara berkembang banyak sapi-sapi yang melahirkan, tetapi
tidak dapat mencukupi kolostrum untuk pedetnya yang disebabkan karena menderita
radang ambing atau mastitis. Diperkirakan 50% sapi betina menderita radang yang mengenai rata-rata 2 perempatan
ambing.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit mastitis atau
radang ambing ?
2. Apa penyebab dari penyakit mastitis ?
3. Bagaimana gejala dari penyakit mastitis ?
4. Bagaimana pencegahan dan cara penanggulangan
penyakit mastitis ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu penyakit mastitis.
2. Mengetahui penyebab dari penyakit mastitis.
3. Mengetahui gejala dari penyakit mastitis
tersebut.
4. Mengetahui bagaimana pencegahan dan cara
penanggulangannya.
II. ISI
A. Faktor Penyebab Radang Ambing/ Mastitis
Faktor
utama penyebab radang ambing atau mastitis adalah streptococcus cocci dan
Staphylococcus cocci. Penularan bakteri ini adalah masuk melalui putting
dan kemudian berkembang biak di dalam kelenjar susu. Hal ini terjadi karena
putting yang habis di perah terbuka, kemudian kontak dengan lantai atau tangan
pemerah yang terkontaminasi bakteri (AAK, 1994).
Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya
mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter
puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada
dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air
susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae,
antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan
yang tidak tersifat (non spesifik). Berbagai jenis bakteri
yang telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain : Streptococcus
agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas
aeroginosa (Akoso, 1996).
Disamping
faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah. faktor
ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing
dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi
ternak, meliputi : bentuk ambing,
misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting
terlalu lebar. Factor umur juga akan mempengaruhi mudah tidaknya seekor sapi
terkena radang ambing atau mastitis. Semakin tua umur sapi, apalagi induk
dengan produksi air susu tinggi, semakin melar spincter pada putingnya, karena
spincter berfungsi dalam menahan infeksi kuman, maka kemungkinan terinfeksi
pada sapi tua juga semakin besar (Subronto, 2003).
Faktor
lingkungan dan pengelolaan ternak yang banyak mempengaruhi terjadinya mastitis,
meliputi pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, sanitasi
kandang, dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung estrogen, misalnya
bangsa clover, dan jagung ataupun konsentrat yang berjamur, telah
terbukti memudahkan terjadinya radang. Kandang yang berukuran sempit
menyebabkan sapi-sapi didalamnya berdesakan, apabila ada salah satu yang
menderita, maka penularan ke sapi lain akan mudah. Lantai kandang yang licin
yang menyebabkan sapi malas bangun ataupun lantai yang kemiringannya kurang,
hingga menyebabkan air mudah tergenang juga akan mempermudah kemungkinan kontak
antara bakteri dan ambing sehat (Subronto, 2003).
B. Fase-fase dalam Proses Peradangan
Secara akademik proses radang dapat
dibedakan menjadi beberapa fase yaitu:
1. Fase invasi
2. Fase infeksi
3. Fase infiltrasi
Fase
invasi merupakan fase masuknya mikroorganisme ke dalam putting. Kebanyakan
proses invasi terjadi karena terbukanya lubang saluran putting terutama setelah
pemerahan. Invasi yang terjadi kebanyakan berlangsung secara subklinis yang
biasanya terjadi sesudah waktu kelahiran, berubah menjadi radang subakut, akut,
atau perakut. Bakteri yang masuk ke dalam putting susu akan mengakibatkan
perubahan air susu yang ada di dalam sinus hingga air susu di dalamnya jadi
rusak. Selajutnya rusaknya air susu akan merangsang timbulnya reaksi jaringan
dalam bentuk peningkatan sel di dalam air susu. Jonjot fibrin yang terbentuk
membuat saluran jadi tersumbat dan kelenjar akhirnya mengalami kerusakan
jaringan (Subronto, 2003).
C. Mekanisme Masuknya Bakteri
Bakteri
streptococcus cocci dan Staphylococcus cocci masuk ke dalam
putting. Setelah bakteri tersebut berhasil masuk ke dalam kelenjar, akan
membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli.
Pada saat mikroorganisme sampai di mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan
memobilisasikan leukosit. Proses radang ditandai dengan peningkatan suhu,
jumlah darah yang mengalir, adanya perasaan sakit atau nyeri, bengkak, dan
gangguan fungsi. Adanya peradangan tersebut maka produksi air susu akan menurun
(Subronto, 2003).
D. Gejala yang Ditimbulkan oleh Penyakit
Mastitis
Mastitis berjangkit pada sapi dengan dua bentuk yaitu :
1. Mastitis Klinis,
yang dapat terdeteksi karena terlihat secara kasat mata.
2. Mastitis Sub
Klinis, yang
sulit terdeteksi karena sapi perah terlihat sehat, ambing normal, dan
susu tidak menggumpal serta warna tidak berubah.
Di
Indonesia, data penyakit mastitis klinis hanya sedikit diketahui, sedangkan
mastitis subklinis justru belum diketahui secara pasti, namun dikatakan
subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan pada waktu
pemeriksaan atas ambing. Hal ini sangat berbahaya, karena susu yang
dihasilkan akan mengandung jumlah bakteri yang sangat banyak. Akibatnya, susu
tidak dapat dijual dan peternak akan menderita kerugian yang sangat besar. Penyebab Mastitis subklinis adalah Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus (Anonim, 2013).
Secara klinis proses radang ambing atau mastitis dapat
berlangsung akut, subakut dan kronik. Proses yang berlangsung secara akut tanda-tanda
adanya radang yang berupa kebengkakan, bila diraba terasa panas, nafsu makan
menurun dan bulu tampak kasar, serta air susu jadi pecah bercampur dengan
endapan jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Konsistensi air
susu jadi lebih encer dan warnanya juga agak kebiruan atau putih pucat.
Tanda-tanda lain yang ditemukan pada keadaan akut antara lain: anoreksia,
kelesuan, dan hewan mengalami toksemia. Proses yang berlangsung secara subakut
ditandai dengan gejala yang mirip dengan akut,hanya saja lebih ringan. Sapi
masih mau makan dan suhu tubuh biasanya masih dalam batas normal (Subronto,
2003).
Mastitis yang kronis dapat diketahui dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
1. Lebih sering
menyerang pada sapi-sapi yang sudah tua.
2. Dari luar tidak
menunjukkan gejala-gejala bahwa hewan terserang suatu penyakit.
3. Terjadi
pembengkakan pada ambing dan jika diperah, air susunya akan menggumpal (AAK,
1994).
Proses yang berlangsung pada subakut atau kronik dapat
menjadi akut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses berlangsung kronik
bila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke
periode berikutnya. Gejala umum adanya radang akut pada ambing akan jelas
terlihat, karena akan sangat terlihat lemah bahkan tidak sanggup berdiri,
ambruk, dan dapat mati dalam beberapa hari (Subronto, 2003).
E. Diagnosa
Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing
dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat
dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu
dengan suatu reagen khusus (Akoso, 1996). Diagnosis mastitis bisa dilakukan
dengan Whiteside Test. Penentuan diagnosa radang ambing
yang bersifat subakut seringkali semata-mata didasarkan pada perubahan air susu
dan hasil penelitian laboratorium. Pemeriksaan di laboratorium berupa darah dan
pemeriksaan air susu. Uji mastitis whiteside atau CMT, menunjukkan
reaksi positif ringan. Mastitis akut pemeriksaan di laboratorik selalu dijumpai
kenaikan jumlah sel, maupun bakteri penyebabnya sendiri. Gangguan traumatik
yang disertai dengan pecahnya pembuluh darah dalam kelenjar dapat menyebabkan
air susu yang keluar bercampur darah (Subronto, 2003).
Pencegahan
penyakit mastitis terutama ditujukan pada kebersihan kandang, kebersihan sapi,
serta pengelolaan peternakannya. Kandang yang selalu bersih setidaknya
mengurangi kemungkinan adanya pencemaran ambing oleh bakteri. Kulit sapi
merupakan tempat sementara bagi mikroorganisme. Bakteri streptococcus
dan staphylococcus selalu dapat diisolasi dari kulit sapi yang klinis
nampak normal. Memandikan sapi mempunyai pengaruh pencucian mikrobia secara
langsung. Termasuk pada pengelolaan peternakan adalah jumlah sapi dalam satu
kandang. Semakin pendek jarak antara sapi, kemungkinan penularan juga semakin
besar. Pedet yang biasa menyusu langsung dari putting induknya dapat bertindak
sebagai perantara dalam penularan radang dari perempatan yang sakit ke yang
sehat, juga pada betina yang bukan induknya sehingga betina yang sehat dapat
tertular. Seyogyanya, pedet segera disapih semuda mungkin dan diberi minum
dengan botol ataupun ember (Subronto,
2003).
Pemerahan susu dengan tangan ataupun mesin juga mampu
menularkan kuman dari satu sapi ke sapi lain. Pencegahannya tangan pemerah
harus dicuci setiap kali akan memulai memerah dan pindah dari satu sapi ke sapi
berikutnya (Subronto, 2003). Penting untuk diperhatikan juga yaitu desinfeksi,
dengan cara dipping terhadap putting
susu setelah pemerahan. Pengalaman dalam praktek dipping dengan alkohol
70% untuk beberapa menit telah mengurangi infeksi ambing dengan drastis.
Obat-obat yang biasa dipakai meliputi chlorhexidine 0.5%, kaporit 4%,
dan lodophore 0.5-1%, untuk mencegah kontaminasi obat atas air susu, hendaknya
ambing dicuci dengan air bersih sebelum pemerahan (Jasper, 1980).
Pencegahan lain yang perlu diperhatikan adalah pendidikan
terhadap peternak akan prinsip-prinsip pencegahan penyakit, kontrol air susu
yang diedarkan serta tindakan ikutan bila jumlah sel yang ditemukan terlalu
tinggi. Disamping itu, hindarkan kemmungkinan adanya hal-hal yang menyebabkan
luka pada ambing atau puting susu baik melalui cara pemerahan maupun adanya
lantai kandang yang dapat menyebabkan luka (AAK, 1994). Sapi yang menderita
mastitis harus dipisahkan dari sapi yang sehat, dan setiap kali jadwal
dilakukannya pemerahan harus sampai apuh, tidak ada air susu yang tertinggal
dalam putting (AAK, 1995).
G. Pengobatan Penyakit Mastitis
Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum
menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus
aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β- laktamase yang akan
menguraikan cincin β- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin.
Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan : Lincomycin, Erytromycin dan
Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi
antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin,
dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik
akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan
antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006).
Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus
mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu
adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi
pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif
juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak
yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan
dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri (Wahyuni et
al., 2005).
Waktu pengobatan bagi ambing yang radangnya tidak
berat, dianjurkan untuk ditunda sampai sehabis laktasi, dengan pertimbangan
agar air susunya tidak terhenti pengedarannya (Subronto, 2003). Untuk sapi-sapi
yang tidak sedang laktasi (masa kering) dosis antibiotika tertentu dan cara
penggunaannya adalah sebagai berikut:
1. Bensatin
kloksasilin 500 mg
2. Prokain
penisilin + novobiosin (1 juta unit-500 mg).
3. Prokain
penisilin + dihidrostreptomisin (1 juta unit-1 gram).
4. Neomisin
500 gram
5. Prokain
penisilin + furaltadon (100.000 unit-500 gr) semua diberikan sekali untuk tiap
perempatan (Blood et al., 1983).
Keuntungan pengobatan dalam masa tidak laktasi yaitu
meliputi:
1. Pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan obat yang lambat daya kerjanya (2-3 minggu),
dan cukup hanya sekali saja dalam pemberian. Hal tersebut penting untuk
mencegah masuknya kuman baru dan juga pengobatan atas staphylococcus yang
bersifat dekil (sulit untuk diobati).
2. Tingkat
infeksi dalam 2-3 minggu setelah diperah adalah lebih dari 10 kali daripada
masa lainnya. Hampir 50% infeksi baru terjadi pada masa kering.
3. Tidak
khawatir dengan residu antibiotika dan tidak ada air susu yang terbuang.
4. Sapi-sapi
yang terinfeksi oleh kuman pada saat melahirkan akan menghasilkan air susu yang
kurang, sampai 33-37%, daripada sapi-sapi yang tidak terinfeksi pada saat
dikeringkan maupun pada saat melahirkan. Sapi-sapi yang terinfeksi pada saat
melahirkan akan menghasilkan air susu yang kurang sebesar 11% daripada sapi
yang terinfeksinya saat dikeringkan dan tidak terinfeksi ulang saat melahirkan.
5. Pengobatan
yang dilakukan pada masa kering akan menurunkan biaya pengobatan (Subronto,
2003).
Mastitis yang akut dapat diberikan pengobatan
suntikan prokain penicilin G + dihidrostreptomycin 2 cc/100 kg berat badan
setiap hari. Sulfamethazine 120 mg/kg berat badan per os melalui mulut,
dianjurkan dengan 60 mg/ kg berat badan setiap 12 jam selama 4 hari. Untuk
mastitis kronis dapat diberikan pengobatan yaitu diberikan penicilin mastitis
ointment, chlortetracycline ointment, atau oxytetracycline mastitis ointment
(AAK, 1994).
III. PENUTUP
Kesimpulan
1. Mastitis adalah penyakit dari ambing yang
disebabkan oleh peradangan kelenjar susu.
2. Penyebab utama radang ambing atau mastitis
adalah streptococcus cocci dan Staphylococcus cocci. Penularan
bakteri ini adalah masuk melalui putting dan kemudian berkembang biak di dalam
kelenjar susu.
3. Mastitis yang berjangkit pada sapi ada 2
bentuk yaitu mastitis klinis dan subklinis.
4. Mastitis kronis dapat diketahui gejalanya
sebagai berikut: lebih sering
menyerang pada sapi-sapi yang sudah tua, dari luar tidak menunjukkan
gejala-gejala bahwa hewan terserang suatu penyakit, terjadi pembengkakan pada
ambing dan jika diperah, air susunya akan menggumpal.
DAFTAR
PUSTAKA
AAK.
1994. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
AAK.
1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Akoso,T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisus.
Yogyakarta.
Anonim.
2013. http://www.
sinartani.com /index. php? Option =com _content &view
=article&id=3127&catid=314:ternak&Itemid=575 . Diakses pada tanggal Jumat 6 September 2013 pukul
20.05 WIB.
Blood,
D.C., Henderson, J.A., dan Radostits,. 1983. O.M: Veterinary Medicine. Lea
dan Febiger, Philadelphia. USA.
Jasper,
D.E. 1980. Mastitis Dalam Bovinae Medicine and Surgery. Ed. H.E.,
Amstutz. Amer. Vet publ. inc., Santa Bara. California, USA.
Lay,
B.W dan S. Hastowo. 2000. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta.
Schwartz,
S. H. (2006a). Les valeurs de base de la personne: Théorie, mesures etapplications
[Basic human values: Theory, measurement, and applications]. Revue Française
de Sociologie, 47, 249-288.
Wahyuni A.E.T.H., Wibawan I.W.T., Wibowo M.H,. 2005.
Karakterisasi Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus Penyebab
Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah, Jurnal Sain Veteteriner Vol. 23 No. 2,
Bagian Mikrobiologi FKH-UGM. UGM Press. Yogyakarta.