PENGAWETAN KULIT DENGAN PENGGARAMAN
Jumat, 28 November 2014
Edit
Kulit merupakan
salah satu hasil samping dari penyembelihan ternak sapi, kambing, dan kelinci.
Kebanyakan setelah ternak disembelih, maka akan di pisahkan antara kulit dengan
daging ternak. Dagingnya dan kulit akan dijual secara terpisah. Jika daging
dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, maka begitu pula dengan kulit. Kulit
juga dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, namun ada pula yang menggunakan
kulit sebagai bahan hiasan ataupun pakaian.
Untuk menjadikan
kulit sebagai bahan pangan ataupun suatu barang, diperlukan suatu proses yang
panjang. Sedangkan kulit tidak bisa bertahan lama. Jika
dibiarkan begitu saja, maka kerusakan kulit akibat pembusukan akan meluas dan
menyebabkan kulit tidak bisa di manfaatkan lagi. Untuk itu diperlukan proses
pengawetan agar kulit dapat bertahan lama dan dapat dimanfaatkan dalam jangka
waktu yang panjang. Proses pengawetan ini akan menekan pertumbuhan bakteri,
sehingga kulit tidak mudah busuk. Secara umum proses
pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni
pengawetan dengan cara pengeringan+ zat kimia, pengawetan dengan cara kombinasi
penggaraman dan pengeringan, Pengawetan dengan cara garam basah, pengawetan
dengan cara pengasaman (pickling). Makalah kelompok kami ini akan
membahas pengawetan kulit dengan teknik penggarama
I.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Aten
(1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi menjadi penggaraman kering
(dry salting) dan penggaraman basah (wet salting). Stanley (1993), menambahkan
bahwa peng garaman merupakan metoda pengawetan yang paling mudah dan efektif.
Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi
yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri. Kulit mentah segar bersifat mudah
busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya
organisme. Kulit mentah tersusun dari unsur kimiawi seperti: protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral. Oleh sebab itu, perlu dilakukan proses
pengwetan kulit sebelum kulit diolah lebih lanjut. Teknik mengolah kulit mentah
menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan demikian, kulit hewan yang mudah
busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme (Judoamdjojo, 1981).
Prinsip
mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman
atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak
dan serat kulit (Purnomo, 1985). Menurut Muslich (1999), teknik penyamakan
kulit dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra-penyamakan, penyamakan,
dan pasca penyamakan. Proses pra-penyamakan (beam open house operation)
meliputi perendaman, pengapuran, pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan
proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1985). Perendaman (soaking)
merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan yang bertujuan mengembalikan
kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya
mendekati kadar air kulit segar. Tujuan perendaman adalah membuang zat padat
seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah, urin, dan kotoran. Pencegahan
proses pembusukan dalam perendaman dapat dilakukan dengan cara mengusahakan
agar air perendaman tetap dingin, terutama di musim panas perlu digunakan
termometer dan penambahan sedikit bakterisida (Mann, 1980).
Tujuan
pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar keringat dan
lemak, dan menghilangkan semua zat-zat yang bukan kolagen yang aktif menghadapi
zat-zat penyamak. Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan
berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur di dalam kulit harus
dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses
penyamakan. Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa
daging (subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses buang bulu
(scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang masih
tertinggal pada kulit (Muslich, 1999). Pembuangan kapur (deliming) bertujuan
untuk menurunkan pH yang disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada
kulit (Purnomo, 1985). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium
sulfat (ZA). Garam itu memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada
pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan kulit (Muslich,1999).
Pelumatan
(bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara
enzimatik. Bahan yang digunakan adalah oropon atau enzilen, yaitu bahan yang
dibuat dari pankreas dan garam-garam ammonium sebagai aktivator (Judoamidjojo,
1974). Menurut Purnomo (1985), tujuan dari proses bating adalah menghilangkan
sisa-sisa akar bulu dan pigmen, sisa lemak yang tidak tersambungkan, dan
menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal. Proses Bating diperlukan
terutama untuk pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian,
dan sarung tangan (Muslich, 1999). Menurut Mann (1980), waktu batingyang
berlebihan dapat menyebabkan kulit menjadi lepas dan menipis karena banyak
protein yang terhidrolisis sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menjadi
rendah.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penggaraman
merupakan pengolahan dengan menggunakan garam konsentrasi tinggi. Penggunaan
garam dilakukan untuk mengawetkan dan menyamarkan kerusakan yang dapat terjadi
pada bahan pangan. Secara umum proses penggaraman
terdiri atas dua tahap yaitu penggaraman dan pengeringan.
B. Tujuan
dan Fungsi
Tujuan
penggaraman adalah untuk pengawetan. Selain itu, untuk mendapatkan perubahan
bahan yang diinginkan seperti tekstur, warna, dan mendapatkan karakteristik
tertentu dari produk dengan aroma dan rasa yang khas. Fungsi dari penggaraman
adalah menghambat atau membunuh bakteri pembusuk pada bahan dan membentuk
struktur tertentu. Pada proses fermentasi garam berfungsi menghambat
pertumbuhan bakteri yang tidak tahan terhadap garam namun menumbuhkan bakteri
yang halotoleran terhadap garam. Garam juga memiliki kemampuan dalam mengikat
air dalam jaringan sayuran sehingga terjadi perubahan tekstur dari produk yang
dibuat. Pada proses pengolahan dengan enzimatis,
fungsi garam adalah menyeleksi jenis enzim yang aktif. Enzim yang tidak tahan
terhadap garam akan inaktif sehingga enzim yang aktif akan beraktivitas
mendegradasi protein dan membentuk flavor dan aroma yang khas.
C. Mekanisme
Penggaraman
Mekanisme penggaraman
terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu garam mengikat air didalam bahan.
Tahap kedua yaitu menurunkan aktivitas air produk sehingga mikroba pembusuk dan
perusak yang tidak tahan terhadap aw rendah tidak dapat tumbuh. Dan tahap
ketiga adalah merubah konsentrasi intra dan ekstrasel dalam jaringan bahan
sehingga menghasilkan tekstur tertentu.
Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses penggaraman antara lain :
1. Karakteristik
dan sifat bahan
2. Jumlah
dan konsentrasi garam
3. Suhu
pengeringan
4. Waktu
penggaraman
5. Tujuan
penggaraman (fermentasi dan enzimatis)
Selama proses penggaraman
akan terjadi perubahan-perubahan antara lain:
1. Perubahan
tekstur
Perubahan tekstur pada
bahan secara umum disebabkan karena selama proses berlangsung terjadi penguapan
air dan salting out akibat suhu pengeringan setelah dilakukan proses
penggaraman. Perubahan tekstur menjadi keras disebabkan karena garam mengikat
air dan menyebabkan perubahan konsentrasi antara intrasel dan ekstrasel dalam
jaringan bahan. Konsentrasi ekstrasel meningkat dan
menyebabkan air didalam sel mengalami osmosis dan berkurang. Keadaan ini
menyebabkan tekstur produk menjadi lebih keras dan padat. Selain itu, protein
juga mengalami proses koagulasi yang menyebabkan penurunan daya ikat air,
akibatnya tekstur menjadi lebih kaku dan mengkerut. Perubahan tekstur yang
lunak dapat disebabkan karena terjadi proses perubahan kolagen menjadi gelatin
yang kemudian larut, selain itu fraksi lemak pada bahan meleleh.
2. Perubahan
warna
Perubahan warna pada
bahan yang digaramkan terjadi karena proses reaksi mailard pada saat
pengeringan dan terjadi oksidasi kandungan bahan.
3. Perubahan
berat
Penyusutan
berat diakibatkan karena garam yang memiliki sifat hidrokopis akan menyerap cairan
yang ada pada jaringan dan terjadi penurunan jumlah air bebas. Konsentrasi
ekstrasel akan meningkat dengan adanya garam dan menyebabkan sel osmosis.
Penyusutan bisa juga disebabkan karena hilangnya air bersama-sama dengan uap
air saat dilakukan proses pengeringan. Sel pada saat
terbuka dan menyebabkan air bebas dalam jaringan keluar. Penurunan berat juga
terjadi karena pada proses pengeringan menggunakan uap panas sehingga terjadi
proses leaching pada komponen protein dan lemak, sel menjadi rusak. Sel yang
rusak akan menyebabkan jaringan terbuka dan menurunkan tekanan rigor mortis
sehingga daya ikat protein menurun dan air ikut menguap bersama dengan titik
atau uap air yang hilang.
D. Tahap
Pengawetan kombinasi Penggaraman dengan Pengeringan
Kulit segar setelah
bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat, kemudian
direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas)
20-24oBe selama 1-2 hari. Tingkat kepekatan garam tidak boleh
berada dibawah 20oBe. Kadar salinitas tersebut diukur dengan
alat yang disebut Baume meter. Bila tingkat salinitas mengalami
penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam. Bila alat ukur tersebut
tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan
garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka dibutuhkan garam murni
(NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan bila menggunakan
garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air pelarut. Mengingat
garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara ekonomis mahal, sehingga
lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang banyak dijual di
pasaran.
Standar baku untuk
salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg garam murni ke
dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis. Berdasarkan
acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat kepekatan 20oBe,
berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan
untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30).
Cara lain untuk
menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan melarutkan garam
ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut lagi, berarti
konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang telah
direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman. Bagian daging dari
kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari berat
kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi
peresapan. Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu dengan waktu
pengeringan 3-5 hari. Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat.
Dalam proses ini
memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
1.
Keuntungan
a)
Selama waktu pengeringan kulit tidak
lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama
misalnya pada saat musim penghujan.
b)
Kualitas kulit menjadi lebih baik dari
pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena serat-serat kulit
tidak melekat satu sama lain.
c)
Kulit sangat baik untuk disamak terutama
dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang
terlalu lama lagi
2.
Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi
lebih banyak dibanding cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula
E. Tahap
Penggaraman Basah
Kulit yang telah bersih
dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam. Setelah perendaman, kulit tidak
lagi dikeringkan, tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya
telah ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi paling bawah
diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging
menghadap keatas.
Bagian berdaging
ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman).
Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk
kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda. Jadi
bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua.
Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter. Kulit terakhir
yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi
penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu bagian bulu menghadap ke
atas. Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit
menetes sedikit demi sedikit. Kulit yang telah digarami tersebut
didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya keluar.
Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai
kulit garaman. Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang
tidak lebih dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan.
Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki
iklim dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan
pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti
kulit ikan dan kulit reptil. jenis pengawetan ini memiliki beberapa
keuntungan dan kerugian antara lain :
1.
Keuntungan
a)
Pengawetan tidak tergantung dengan sinar
matahari
b)
Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit
c)
Proses perendaman (soaking) dalam
proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang singkat
d) Pelaksanaan
cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
2.
Kerugian
a) Untuk
daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah
masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik
untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit
garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang diketahui relatif tahan
terhadap suasana garam.
b) Biaya
pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak
serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.
III.
KESIMPULAN
Penggaraman
merupakan pengolahan dengan menggunakan garam konsentrasi tinggi.
Tujuan penggaraman yaitu untuk pengawetan pada kulit. Mekanisme penggaraman
terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu garam mengikat air didalam bahan.
Tahap kedua yaitu menurunkan aktivitas air produk sehingga mikroba pembusuk dan
perusak yang tidak tahan terhadap aw rendah tidak dapat tumbuh. Dan tahap
ketiga adalah merubah konsentrasi intra dan ekstrasel dalam jaringan bahan sehingga
menghasilkan tekstur tertentu.,Proses
penggaraman dibagi menjadi dua yaitu cara penggaraman dengan kombinasi
pengeringan dan dengan cara penggaraman basah.
DAFTAR PUSTAKA
Aten,
ARF. 1966. Flying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industri. FAO.
Judoamidjojo,
M. 1981. Defek-Defek pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Jakarta: Bhatara Karya
Aksara.
Mann,
I. 1980. Rural Tanning Techniques. Rome: Food and Agriculture Organization of
The UnitedNations.
Purnomo,
E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. AkademiTeknologi Kulit .
Yogyakarta: Departemen Perindustrian.
Stanley,
A. 1993. Preservation of Rawstock. Leather the International Journal.195 (4662)
Dec. 1993:27-30.