Kebutuhan Nutrien Itik Petelur dan Pedaging
Minggu, 07 Desember 2014
Edit
Itik
berperan sebagai penghasil telur dan daging. Sebanyak 19,35% dari 793.800 ton
kebutuhan telur di Indonesia diperoleh dari telur itik. Perannya sebagai
penghasil daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan
daging nasional (DITJENNAK, 2001). Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia
baik telur maupun daging masih rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan. Rendahnya
produksi telur tersebut sebagian disebabkan oleh pakan yang tidak memadai.
Nyatanya produksi telur itik gembala tersebut dapat ditingkatkan dari 38,3%
menjadi 48,9% dengan memberi pakan tambahan (SETIOKO et al., 1992;
SETIOKO et al., 1994). Tingkat produktivitas itik petelur terkurung
lebih tinggi dari produktivitas itik gembala karena mutu pakan yang diberikan
lebih baik.
Pakan berperan sangat penting dalam usaha peternakan
itik. Porsi biaya pakan terhadap total biaya produksi itik Mandalung umur 7
minggu adalah 69%. Dengan rataan biaya pakan sebanyak lebih 70% dari total
biaya produksi maka jelas bahwa kecermatan dalam pengelolaan pakan akan sangat menentukan
keberhasilan dan efisiensi usaha peternakan itik tersebut. Efisiensi penggunaan
pakan itik petelur yang biasa diukur dengan FCR masih sangat buruk yaitu
berkisar antara 3,2 – 5,0 dibandingkan dengan ayam ras petelur yang hanya 2,4 –
2,6 selama setahun produksi (HY− LINE INTERNATIONAL, 1986). Begitu pula FCR
itik pedaging/itik jantan yang digemukkan juga masih sangat buruk yaitu 3,2 –
5,0 jika dibandingkan dengan FCR ayam ras pedaging yang hanya 2,1 – 2,2 pada umur
yang sama 8 minggu (INDIAN RIVER INTERNATIONAL, 1988). Oleh karena itu perlu
diketahui mengenai kebutuhan nutrisi setiap fase untuk itik petelur maupun
pedaging.
PEMBAHASAN
Pakan
merupakan kebutuhan pokok dalam usaha pemeliharaan ternak itik. Biaya
untuk ransum menempati presentase terbesar dibandingkan dengan biaya lainnya.
Oleh karena itu pengetahuan dan keterampilan dalam penyediaan dan penyusunan
ransum yang baik sangat diperlukan oleh peternak.
Pada prinsipnya fungsi
makanan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, membentuk sel-sel dan
jaringan tubuh, serta menggantikan bagian-bagian yang rusak. Selanjutnya
makanan untuk kebutuhan berproduksi.
A.
Gizi
Yang dimaksud dengan gizi adalah zat-zat yang
terkandung dalam ransum ternak yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral dan
vitamin. Karbohidrat, lemak dan protein akan membentuk energi sebagai hasil
pembakaran. Karbohidrat adalah sumber tenaga dan energi yang dipakai dalam
setiap aktivitas di dalam tubuh dan gerak itik. Sumber karbohidrat antara lain
terdapat dalam jagung, beras, sorgum dan dedak padi. Lemak berfungsi sebagai
sumber tenaga serta mengandung vitamin A, D, E dan K. Kelebihan karbohidrat
ditimbun di bawah kulit tubuh sebagai lemak. Jadi kekurangan lemak bisa diisi
oleh karbohidrat. Tetapi lemak yang berlebihan dapat menyebabkan terganggunya
saluran reproduksi. Adapun sumber bahan ransum yang mengandung lemak adalah
jagung, kedelai dan minyak ikan.
Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, mengganti
jaringan-jaringan yang rusak serta berproduksi. Kebutuhan protein kasar
tergantung pada fase hidup itik. Selain persentase total kandungan protein
di dalam makanan, perlu juga diperhatikan keseimbangan asam amino yang
membentuk protein tersebut. Untuk menjaga keseimbangan asam amino tersebut,
penyusunan ransum dianjurkan terdiri dari berbagai macam bahan baku. Dengan
demikian kekurangan suatu asam amino dapat ditutupi oleh asam amino yang
diperoleh dari bahan baku lainnya. Berdasarkan sumbernya, protein dapat
digolongkan menjadi dua yaitu protein yang berasal dari hewan dan protein yang
berasal dari tanaman. Mineral merupakan zat pembangun pertumbuhan dan produksi.
Kebutuhan mineral
relatif sedikit tetapi kekurangan mineral dapat mengakibatkan efek yang tidak
menguntungkan pada ternak itik. Sumber mineral adalah dari makanan hijauan dan
dari hewan. Vitamin
sangat dibutuhkan dalam metobolisme kalsium dan fosfor yang berfungsi sebagai
pembentukan tulang dan kulit telur.
Energi adalah hasil dari proses metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak didalam tubuh dengan satuan pengukur kalori.
Energi diperlukan untuk semua kegiatan fisiologis dan produksi itik termasuk
aktivitas pernapasan, sirkulasi darah, pencernaaan makanan dan sebagainya.
Karbohidrat dan lemak merupakan bahan makanan sumber energi yang praktis dan
efisien. Untuk melengkapi ransum makanan dibutuhkan vitamin, mineral dan
antibiotik yang bermanfaat untuk mempercepat pertumbuhan, mempertahankan atau
meningakatkan produksi dan menjaga kesehatan ternak itik. Feed suplement bisa
hanya berbentuk vitamin, mineral atau campuran antara antiobitik dan vitamin
atau juga campuran dari vitamin, antibiotik dan mineral. Cara pemberian feed
suplement mengikuti aturan dari pabrik pembuatnya.
B. Kebutuhan
Nutrien Itik Petelur
Telah banyak dilakukan penelitian
tentang kebutuhan protein dan energi pada itik petelur lokal. Dari hasil-hasil
penelitian tersebut, SINURAT (2000) menyusun rekomendasi kebutuhan gizi itik
petelur pada berbagai umur. Berikut ini adalah table kebutuhan nutrien itik
petelur pada berbagai umur menurut SINURAT (2000).
Rekomendasi yang tersedia saat ini
dikelompokkan berdasarkan umur yaitu: pakan starter untuk itik berumur 0 – 8
minggu, pakan grower untuk itik berumur 9 – 20 minggu, dan pakan petelur untuk
itik berumur lebih dari 20 minggu. Pada table dibawah ini dilaporkan mengenai
kebutuhan asama amino pada dua tingkat energy pakan.
Contoh lain adalah MAHMUDI (2001)
yang memberikan
pakan starter ayam untuk itik petelur umur 1-7 hari. Kemudian itik
umur 1-3 minggu diberi pakan dengan campuran 75% dedak halus,
bekatul, menir, limbah roti atau beras rusak dan ditambah
25% pakan konsentrat. Setelah umur 4 minggu atau lebih, rasio
campuran
dari bahan diatas dirubah sesuai dengan umur itik dengan
ketentuan: protein dan energy diturunkan pada fase pertumbuhan
dan dinaikkan kembali pada fase bertelur. Tidak dilaporkan
informasi tentang rasio campuran pakan untuk berbagai umur
itik tersebut.
Yusin, peternak itik petelur di Cirebon menggunakan dedak,
menir dan ikan petek/rucah basah sebagai pakan utama
untuk itiknya. Ikan petek pada musim panen banyak tersedia dengan
harga bersaing di Cirebon. Ikan ini dicincang dalam bentuk
segar lalu diberikan pada itik. Total pakan sebanyak 18 kg
tersebut
diatas diberikan untuk 90 ekor itik petelur/hari. Hasil
analisa proksimat sampel pakan tersebut dalam bentuk kering di
laboratorium menunjukkan bahwa kandungan protein kasar sebanyak
14,66%, energy kasar 4015 kkal/kg (atau setara dengan
2911 Kkal EM/kg), serat kasar 8,85%, Ca 0,31% dan P 1,12%
(KETAREN
dan PRASETYO, 2000). Jika dibandingkan dengan rekomendasi
kebutuhan gizi untuk itik petelur seperti tertera pada
Tabel 1 diatas maka hasil analisa proksimat sampel pakan
peternak Cirebon diatas ternyata kandungan protein kasar dan Ca
masih jauh lebih rendah dari rekomendasi atau dengan kata lain
harus
ditingkatkan kadarnya, misalnya dengan menambah jumlah ikan
petek dan kulit kerang atau kapur ke dalam pakan.
C. Kebutuhan
Gizi Itik Pedaging
Informasi kebutuhan gizi untuk itik
pedaging di Indonesia belum tersedia karena itik pedaging juga belum umum
diternakkan (KETAREN, 2001c). Walaupun demikian beberapa tahun terakhir ini peternak
mulai menggemukkan itik pejantan dan itik Mandalung (= Mule duck:
hasil persilangan antara entok dengan itik) selama 2 bulan dan kemudian dijual sebagai
itik potong.
1. Kebutuhan
Gizi Itik Pekin
Kebutuhan gizi untuk itik pedaging
diatas yang dikutip dari rekomendasi NRC (1994) dapat digunakan sebagai acuan.
Dari Tabel 4 ternyata kebutuhan protein kasar untuk itik Pekin umur 0 − 2
minggu lebih tinggi dari rekomendasi kebutuhan protein untuk itik petelur
seperti tertera pada Tabel 1 yaitu masing-masing 22% untuk itik Pekin dan
17-20% untuk itik petelur. Pada Tabel 4, kebutuhan gizi untuk itik Pekin
dikelompokkan menjadi starter umur 0-2 minggu, grower 2 − 7 minggu dan itik
bibit. Pada umur 7 minggu itik Pekin diharapkan sudah mencapai bobot badan 2,10
kg (CHEN, 1996). Itik Pekin mulai di ternakkan di Indonesia baik sebagai penghasil
bibit maupun penghasil daging. Saat ini untuk memenuhi permintaan konsumen, karkas
itik Pekin masih diimpor dari luar negeri. Daging itik Pekin sudah umum
disajikan oleh restoran atau hotel-hotel di kota besar seperti Jakarta. Daging
itik jantan atau itik afkir banyak disediakan oleh rumah makan yang lebih kecil.
Contoh formula pakan untuk itik Pekin pada umur starter, grower, developer dan
layer disajikan pada Tabel 5.
2.
Kebutuhan Gizi Itik Mandalung
Kebutuhan gizi untuk itik Mandalung yang
baru mulai dikenal dan dikembangkan di Indonesia sebagai itik pedaging juga
belum tersedia. Walaupun demikian untuk sementara waktu, dapat dipergunakan rekomendasi
yang dibuat oleh CHEN (1996) yang digunakan di Taiwan negara yang memproduksi
dan umum mengkonsumsi daging itik Mandalung seperti pada Tabel 6. Dari Tabel 6
ternyata kebutuhan protein untuk itik Mandalung baik pada umur 0−3
minggu maupun untuk umur 4−10 minggu jauh lebih rendah dibanding kebutuhan
protein untuk itik Pekin yaitu masing-masing 15,4 – 18,7% sementara 16 – 22%
untuk itik Pekin. Kebutuhan gizi lainnya antara kedua galur atau bangsa itik
tidak jauh berbeda. Kebutuhan protein yang rendah pada itik Mandalung berpeluang
untuk menyusun formula pakan yang murah untuk itik Mandalung dibanding
itik Pekin.
Contoh formula pakan
untuk itik Mandalung yang digunakan di Taiwan pada umur 0 − 3 dan 4 – 10 minggu
tertera pada Tabel 7. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa kandungan protein
dalam pakan jauh lebih rendah daripada kandungan protein untuk ayam pedaging
yaitu 23% dan 20% masing-masing untuk ayam pedaging umur 0 – 3 dan 4 – 6 minggu
(NRC, 1994).
D. Kebutuhan
Air Untuk Itik
Air adalah gizi yang sangat penting bagi
seluruh jenis ternak (LEESON dan SUMMERS, 1991). Misalnya, unggas tanpa air
minum akan lebih menderita dan bahkan lebih cepat mati dibanding unggas tanpa
pakan. Sebagai contoh, sekitar 58% dari tubuh unggas dan 66% dari telur adalah
air (ESMAIL, 1996). Mutu air sering diabaikan oleh peternak karena kenyataan
yang mereka lihat yaitu itik mencari makan dan minum ditempat kotor seperti
kali, sawah atau bahkan di selokan. Air juga dapat berfungsi sebagai sumber
berbagai mineral seperti Na, Mg dan Sulfur. Oleh karena itu, mutu air akan
menentukan tingkat kesehatan ternak itik. Air yang sesuai untuk konsumsi
manusia pasti juga sesuai untuk konsumsi itik. Air harus bersih, sejuk dengan Ph
antara 5 − 7, tidak berbau, tawar atau tidak asin dan tidak mengandung racun.
Jumlah kebutuhan air untuk unggas secara umum termasuk ternak itik diperkirakan
sebanyak 2 kali dari kebutuhan pakan/ekor/hari. ESMAIL (1996) mengestimasi
bahwa konsumsi air untuk unggas akan meningkat sebanyak 7% setiap kenaikan
temperatur udara lingkungan 1° C diatas 21° C. Kandungan maksimum Ca, Mg, Fe,
Nitrit dan Sulfur dalam air minum unggas masing-masing berturut-turut 75, 200,
0,3 − 0,5, 0 dan 25 mg/liter. Kelebihan mineral tersebut dalam air akan mempengaruhi
penampilan unggas termasuk itik yaitu gangguan pencernaan.
E. Racun
Aflatoxin
Kualitas pakan ternak itik harus
diperhatikan dalam menyediakan bahan maupun dalam mencampur pakan. Kadar
aflatoxin di dalam pakan menurunkan mutu disamping membahayakan kesehatan itik.
Itik sangat sensitif terhadap keracunan aflatoxin yang dapat menurunkan
pertumbuhan, produksi telur dan bahkan menyebabkan kematian. HETZEL et al.
(1981) melaporkan bahwa aflatoxin dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, FCR,
tingkat produksi telur dan merusak hati itik. Tingkat pengaruh aflatoxin terhadap
performan itik sangat berkaitan dengan jumlah kandungan aflatoxin dalam pakan
serta tingkat sensitivitas itik terhadap toxin tersebut. Pakan yang mengandung
aflatoxin sebanyak 40 μg/kg akan mengakibatkan pembengkakan hati itik.
Aflatoxin pada level 100 μg/kg akan menurunkan pertumbuhan, dan jika pakan
mengandung aflatoxin 200 μg/kg akan meningkatkan kematian itik. Juga dilaporkan
bahwa itik Alabio cenderung lebih sensitif terhadap kadar aflatoxin dalam pakan
dibanding itik lokal lainnya. Disimpulkan bahwa kadar aflatoxin yang aman didalam
pakan harus kurang dari 40 μg/kg. HETZEL dan SUTIKNO (1979) melaporkan bahwa
kadar aflatoxin didalam jagung dan bungkil kedelai dapat mencapai masing-masing
371 μg/kg dan 66 μg/kg. Contoh yang diambil dari pakan starter, grower, dan layer
juga mengandung aflatoxin 50 − 100 μg (HETZEL et al., 1981). Berdasarkan
informasi diatas dapat diindikasikan bahwa lebih dari 80 μg/kg aflatoxin/kg dalam
jagung tidak dianjurkan dipakai sebagai pakan itik jika diasumsikan level
penggunaan jagung dalam pakan sebanyak 50%.
Gambar
1 Itik Petelur Gambar 2 Pakan Itik
Gambar 3 Itik Pedaging Gambar 4 Tempat
Minum Itik
DAFTAR
PUSTAKA
CHEN, T. F. 1996. Nutrition and feedstuffs of ducks. In: The training Course for Duck
Production and Management. Taiwan Livestock Research Institute, Monograph
No. 46. Committee of International Technical Cooperation, Taipei.
DITJENNAK. 2001. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta.
ESMAIL, S. H. M. 1996. Water: The vital nutrient. Poultry
International. Watt Publishing Co., Illinois.
HETZEL, D.J.S. and I. SUTIKNO. 1979. A report on aflatoxin contamination in local
and imported corn and soybean meal in West Java, Indonesia. Proc. Int. Symp.
Microbiological aspect of food storage, processing and fermentation in Tropical
Asia.
HETZEL, D.J.S., I. SUTIKNO, and
SOERIPTO. 1981. Beberapa pengaruh
aflatoxin terhadap pertumbuhan itik-itik muda. Prosiding seminar Penelitian
Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
HY-LINE INTERNATIONAL. 1986. Hy- Line Variety Brown, Comemercial
Management Guide. A. publication of Hy- line international, West Des
Moines, Iowa.
INDIAN RIVER INTERNATIONAL. 1988. Broiler Management Guide. A publication
of Indian River International, Nacogdoches, Texas.
KETAREN, P.P. 2001c. Peranan peternakan bebek dalam pemberdayaaan
masyarakat pedesaan. Bebek Mania, Edisi 09. September 2001.
KETAREN, P.P. dan L.H. PRASETYO. 2000. Produktivitas itik silang MA di Ciawi dan
Cirebon. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
LEESON, S. and J.D. SUMMERS. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University
Books, Guelph, Ontario.
MAHMUDI, H. 2001. Pengembangan usaha peternakan itik di Kecamatan Ponggok, Kabupaten
Blitar. Lokakarya Unggas Air Nasional. Fakultas Peternakan IPB dan Balai
Penelitian Ternak di Ciawi tanggal 6-7 Agustus 2001.
NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1994. Nutrient Requirement of Poultry.
National Academy Press, Washington, D.C.
PAN, C. M. 1996. Management of pekin ducks. In: The training Course for Duck Production
and Management. Taiwan Livestock Research Institute, Monograph No. 46.
Committee of International Technical Cooperation Taipei.
SETIOKO, A.R., A.P SINURAT, P. SETIADI,
A. LASMINI, P. KETAREN, dan A. TANUWIDJAJA. 1992. Pengaruh perbaikan nutrisi terhadap produktivitas itik gembala pada
masa boro. Prosiding Agroindustri peternakan di pedesaan. Balai Penelitian
Ternak, Ciawi, Bogor.
SETIOKO, A.R., A.P SINURAT, P. SETIADI,
dan A. LASMINI. 1994. Pemberian pakan
tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang-Jawa Barat. Ilmu dan Peternakan
8(1):27-33.
SINURAT, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam buras.
Wartazoa 9(1): 12-20.
SINURAT, A.P. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan proyek
pengembangan agribisnis peternakan, Dinas Peternakan DKI Jakarta, 20 Juni 2000.
SINURAT, A.P., J. BESTARI, WINARSO, R.
MATONDANG, P. SETIADI, dan S. WAHYUNI. 1992. Pengaruh imbangan asam amino dengan energi metabolis dalam ransum
terhadap penampilan itik. Prosiding pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil
Penelitian Unggas dan Aneka Ternak, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
SUTARTI, H., A. DJAJANEGARA, A. RAYS,
dan T. MANURUNG. 1976. Hasil analisa
bahan makanan ternak. Laporan khusus No. 3, Lembaga Penelitian Peternakan,
Bogor.
(Sumber : WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002, Kebutuhan Gizi Itik Petelur dan Itik Pedaging, Dr. Pius Ketaren)
(Sumber : WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002, Kebutuhan Gizi Itik Petelur dan Itik Pedaging, Dr. Pius Ketaren)