Laporan Praktikum Pengelolaan Limbah Peternakan
Sabtu, 27 Desember 2014
Edit
Penimbunan
kotoran ternak di sekitar kandang menyebabkan pencemaran lingkungan,
diantaranya bau menyengat, jika kotoran ikut tergenang air hujan dapat
menurunkan mutu lingkungan dan mutu kesehatan bagi masyarakat sekitar
peternakan, maka perlu dilakukan pengolahan limbah kotoran agar tidak dibuang
sia-sia. Pengolahan limbah kotoran diharapkan dapat mengurangi pencemaran
lingkungan dan memperoleh keuntungan. Pengolahan limbah dapat dilakukan dengan
cara menggunakan kotoran ternak sapi potong maupun sapi perah sebagai pupuk
kandang untuk tanaman, sebagai penghasil biogas, dan campuran bahan pakan
ternak. Kotoran dengan volume cukup besar masih memiliki berbagai kandungan
senyawa, unsur hara dan mikroorganisme, sehingga dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Kotoran dimanfaatkan sebagai pupuk kandang, karena kandungan unsur
haranya, seperti nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K), dibutuhkan tanaman
dan kesuburan tanah.
Secara
alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan
mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi
secara alami berlangsung lama dan lambat. Banyak dikembangkan
teknologi-teknologi pengomposan untuk mempercepat proses pengomposan ini. Baik
pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun
anaerobik, dengan atau tanpa activator pengomposan. Aktivator pengomposan yang
sudah banyak beredar antara lain OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4.
Setiap activator memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Selain itu metode yang
cukup popular dalam rangka pemanfaatan kotoran ternak adalah biogas. Biogas
semakin banyak diminati dan terus mengalami perkembangan terutama dalam hal
teknologi. Menurut Wahyuni (2009), menjelaskan bahwa biogas didefinisikan
sebagai campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi
pada material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi
anaerobik.
Praktikum
ini memberikan perlakuan fermentasi terhadap limbah peternakan yang diharapkan
dapat meningkatkan kandungan bahan organik dan menurunkan kadar serat kasar.
Kadar serat kasar dalam pakan ternak yang terlalu tinggi jika dikonsumsi ternak
dapat menurunkan kecernaan. Penelitian Santoso dan Kurniati (2000) menyatakan
bahwa EM4 mampu menurunkan serat kasar pada kotoran yang difermentasi serta
mampu meningkatkan kandungan bahan organik yang baik digunakan sebagai pupuk
tanaman.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan diadakan praktikum Pengolahan Limbah
Peternakan bagi mahasiswa adalah:
1. Mengungkapkan pengetahuan dan wawasan dan
pengalaman para mahasiswa tentang pengolahan limbah peternakan menggunakan EM4.
2. Mahasiswa mampu mempraktekan pembuatan kompos
menggunakan EM4.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengomposan
Kompos merupakan
hasil pelapukan bahan-bahan berupa kotoran ternak/feses, sisa pertanian, sisa
pakan dan sebagainya. Proses pelapukan dipercepat dengan merangsang
perkembangan bakteri untuk menghancurkan menguraikan bahan-bahan yang
dikomposkan. Penguraian dibantu dengan suhu 600C. Proses penguraian
mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik sukarlarut menjadi
senyawa organik larut yang berguna bagi tanaman (Ginting, 2007).
Bokashi adalah suatu kata dalam bahasa Jepang yang
berarti bahan organik yang telah difermentasikan, pupuk ramah lingkungan dan
termaksud bahan organik kaya sumber kehidupan. Ciri-ciri pupukbokashi yang baik
warna coklat kehitam-hitaman, bahan hancur, lembab tidak keras dan tidak bau,
bau seperti tanah atau humus (Indroprahasto, 2010). Proses pengomposan di
tingkat rumah tangga seperti sampah dapur umumnya menjadi material yang
dikomposkan, bersama dengan starter dan bahan tambahan yang menjadi pembawa
starter seperti sekam padi, sisa gergaji kayu, ataupun kulit
gandum dan batang jagung (Yusuf, 2000).
Effectife Microorganism 4 (EM4) merupakan suatu
cairan berwarna kecoklatan dan beraroma manis asam (segar) yang di dalamnya
berisi campuran beberapa mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi proses
penyerapan/persediaan unsur hara dalam tanah. Menurut Rahayu dan Nur (2002),
Mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari asam laktat (Lactobacillus
sp), actinomycetes sp, streptomycetes sp, dan yeast
(ragi). Miroorganisme menguntungkan tersebut (EM4) telah lama ditemukan,
diteliti dan diseleksi terus menerus oleh seorang ahli pertanian bernama
Profesor Teruo Higa dari universitas Ryukyu Jepang. Dengan demikian EM4 bukan
merupakan bahan kimia yang berbahaya seperti pestisida, obat serangga atau
pupuk kimia lainnya (Hidayat et al., 2006).
Bakteri asam laktat (Lactobacillus sp) dapat
mengakibatkan kemandulan (sterilizer) oleh karena itu bakteri ini dapat
menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan; meningkatkan percepatan
perombakan bahan organik; menghancurkan bahan organik
seperti lignin dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa
beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik.
Bakteri ini dapat menekan pertumbuhan fusarium, yaitu mikroorganisme
merugikan yang menimbulkan penyakit pada lahan/tanaman yang terus menerus
ditanami (Suardana, 2007).
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan
bahan organik sebagai sumber energi. Proses pengomposan melibatkan
sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa, aktinomisetes,
nematoda, cacing tanah, dan serangga. Populasi dari semua organisme ini
berfluktuasi, tergantung dari proses pengomposan. Pada prinsipnya, teknologi
pengomposan yang selama ini diterapkan meniru proses terbentuknya humus oleh
alam dengan bantuan mikroorganisme. Melalui rekayasa kondisi lingkungan kompos
dapat dibuat serta dipercepat prosesnya. Proses pengomposan dapat dilakukan
secara aerobik dan anaerobik, biasanya dengan bantuan EM4 (Rorokesumaningwati, 2000).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik
(menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan
sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam
proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa
menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak
diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak
sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak
sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine),
amonia, dan H2S (Crawford, 2003).
Kecepatan pengomposan dipengaruhi oleh banyak-sedikitnya
jumlah mikroorganisme yang membantu pemecahan atau penghancuran bahan organik
yang dikomposkan. Dari sekian banyak mikroorganisme, diantaranya adalah bakteri
asam laktat yang berperan dalam menguraikan bahan organik, bakteri fotosintesis
yang dapat memfiksasi nitrogen, dan Actinomycetes yang dapat
mengendalikan mikroorganisme patogen sehingga menciptakan kondisi yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme lainnya (Isroi, 2008).
Prinsip yang digunakan dalam pembuatan kompos adalah
proses dekomposisi atau penguraian yang merubah limbah organik menjadi pupuk
organik melalui aktifitas biologis pada kondisi yang terkontrol. Dekomposisi
pada prinsipnya adalah menurunkan karbon dan nitrogen (C/N) ratio dari limbah
organik sehingga pupuk organik dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman. Pada
proses dekomposisi akan terjadi peningkatan temperatur yang dapat berfungsi
untuk membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri patogen dan membentuk
suatu produk perombakan yang seragam berupa pupuk organic (Kaharudin
dan Sukmawati, 2010).
B. Identifikasi Pupuk Kompos
Ciri-ciri kompos sudah jadi dan baik adalah: warna
kompos biasanya coklat kehitaman. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan
aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau
bau humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal. Apabila
ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah (Farida, 2000).
Efisiensi yang berlangsung selama pengomposan merupakan
fungsi dari temperatur. Kecepatan proses pengomposan meningkat sejalan dengan
peningkatan temperature sampai 35oC. Proses tersebut mencapai
efisiensi pada temperatur 35-55oC (Willyan, 2008). Bila temperature
meningkat di atas 55oC, efisiensi akan turun. Pengomposan dengan
suhu 35-55oC akan menimbulkan bau busuk dan bakteri pathogen akan
tetap hidup. Bila kelembaban menurun hingga dibawah 50% akan terjadi
peningkatan temperature yang berlebihan di pusat tumpukan kompos. Temperatur
yang tinggi tersebut akan mematikan mikroorganisme yang bermanfaat dan akhirnya
mengganggu proses pengomposan. Kesalahan ini dapat diatasi dengan penyinaran
untuk meningkatkan kelembaban (Hambali, 2008).
Teknik pengomposan
dan jumlah bahan yang berbeda akan membutuhkan waktu yang berbeda dan
mendapatkannilai C/N ratio yang berbeda pula. Pengomposan jerami padi
dengan jumlah yang cukup kecil (hanya 30 kg bahan) membutuhkan waktu pengomposan selama 16 minggu untuk C/N
sekitar 18-20, karena selain volume tumpukan bahan organik yang relatif kecil
juga disebabkan olehpembalikan yang hanya dilakukan setiap satu bulan sekali
sehingga hanya mencapai suhu maksimum 40 ºC dan mendapatkan nisbah C/N sekitar
18-20.Pengomposan dengan volume tumpukanbahan sebesar 2 m (2 x 1 x 1)m
membutuhkan waktu selama 8 bulan untuk mencapai nisbah C/N sekitar
14.Waktu pengomposan yang lama tersebutdisebabkan oleh pembalikan kompos yang
terlalu sering yaitu 2-3 kali dalamsehari, hal ini jelas mengakibatkan suhu
optimum pengomposan tidak akantercapai sehingga waktu pengomposan dan penurunan
C/N ratio menjadi sangatlambat (Kristianto, 2007).
Penilaian kualitas kompos selain dilihat dari sifat
fisik sering dilihat hanya dari nilai C/N ratio dan kandungan unsur hara
saja.Dimanakompos dengan C/N ratio rendah dan memiliki kandungan hara yang
tinggidianggap sebagai ciri kompos yang baik, tanpa memperhitungkan
kandunganasam-asam organik khususnya asam humat dan asam fulvat yang
memilikiperanan besar dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.Kompos yang
baik untuk ditambahkan ke dalam tanah dapat dilihat dari segi fungsi dan
peranannyadalam mempengaruhi (memperbaiki) sifat-sifat tanah (Ramdani,
1985).
Tingkat kematangan kompos dapat dirasakan dari panas
yang dikandungnya.Jika tumpukan kompos masih panas saat disentuh, bisa
dikatakan kompos tersebut belum matang sempurna.suhu kompos yang telah matang
lebih rendah dari suhu udara luar ditambah 200C. Bau kompos matang
menyerupai bau tanah. Bau tanah pada kompos matang terjadi karena materi yang
dikandungnya sudah menyerupai materi tanah. Kompos yang telah matang biasanya
berwarna coklat tua kehitaman. Warnanya menyerupai tanah hutan yang subur dan
gembur. Warna tersebut terbentuk oleh pengaruh bahan organik yang sudah stabil.
Secara fisik kompos yang matang memiliki tekstur yang halus dan tidak
menyerupai bentuk aslinya. Kompos matang biasanya mengalami penurunan volume
dan berat. Penurunan ini berkisar antara 50-70% dari volume bahan awal yang
dikomposkan. Nilai rasio C/N kompos matang mendekati rasio C/N tanah. Biasanya
lebih kecil dari 20 (Wahyono, 2011).
C. Biogas
Biogas adalah suatu jenis gas yang bisa dibakar, yang
diproduksi melalui proses fermentasi anaerobic bahan
organic seperti kotoran ternak dan manusia, biomassa limbah pertanian
atau campuran keduanya, di dalam suatu ruang pencerna (digester). Komposisi
biogas yang dihasilkan dari fermentasi tersesbut terbesar adalah gas methan
(CH4) sekitar 54-70% serta gas karbondioksida (CO2) sekitar 27-45%. Gas methan
(CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan bahan bakar yang berguna
karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800 sampai 6700
kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8900 Kkal/m³. Karena
nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat
dipergunakan untuk keperluan penerangan, memasak, menggerakkan mesin dan
sebagainya. Sistim produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti
(a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak
sedap (Nurhasanah, 2005).
Menurut Willyan (2008), menyatakan bahwa biogas (gas
bio) merupakan gas yang ditimbulkan jika bahan-bahan organik,
seperti kotoran hewan, kotoran mausia, atau sampah, direndam didalam air dan
disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob. Proses terjadinya biogas adalah
fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh
mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar. Secara kimia,
reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi
tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik.
Proses dapat terjadi secara aerobik (menggunakan
oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya
adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses
dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa
menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan,
karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap seperti:
asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine),
amonia, dan H2S (Crawford, 2003).
Menurut Setiawan (2008), menyatakan
bahwa pada hari ke-14, gas sudah mulai terbentuk dan bisa digunakan untuk
menghidupkan nyala api pada kompor. Gas yang dihasilkan dari biogas tidak
berbau sepeti kotoran sapi. Keberadaan gas ini dapat dimanfatkan untuk berbagai
keperluan. Sebagai perbandingan, setiap kubik biogas dapat digunakan untuk
keperluan sebagai berikut:
1. Menyalakan mesin 1 Pk selama 2
jam.
2. Menghasilakn listrik 1,25 Kwh.
3. Menyalakan kompor gas untuk
memasak tiga kali sehari bagi satu keluarga dengan jumlah anggota keluarga 5
orang.
4. Menyalakan
lampu setingkat dengan bola lampu 60 Watt selama 6 jam.
5. Menjalankan kulkas berkapasitas
satu kubik selama 1 jam.
6. Menjalakan mesin tetas
berkapasitas 1 kubik selama setengah jam.
Banyak faktor yang mepengaruhi
keberhasilan produksi bigas. Faktor pendukung untuk mempercepat proses
fermentasi adalah kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri
perombak. Ada beberpa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas yakni
sebagai berikut:
1. Kondisi anaerob atau kedap udara
Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan
organik oleh mikroorganisme anaerob. Instalasi pengolahan biogas harus kedap
udara.
2. Bahan baku isian
Bahan baku isian berupa bahan organik seperti
kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapaur, dan sampah organik yang terhindar
dari bahan anorganik. Bahan isian harus mengandung 7 – 9 % bahan kering dengan
pengenceran 1 : 1 (bahan baku : air).
3. Imbangan C/N
Imbangan C/N yang terkandung dalam bahan
organik sangat menentukan kehidupan dan aktivitas mikroorganisme dengan imbangan
C/N optimum 25 – 30 untuk mikroorganisme perombak.
4. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap
kehidupan mikroorganisme. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan
mikroorganisme adalah 6,8 – 7,8.
5. Temperatur
Produksi bigas akan menurun secara cepat akibat
perubahan temperatur yang mendadak di dalam instalasi pengolahan biogas. Untuk
menstabilkan temperatur kita dapat membuat instalasi biogas di dalam tanah.
6. Starter
Starter diperlukan untuk mempercepat proses
perombakan bahan organik hingga menjadi biogas. Starter merupakan
mikroorganisme perombak yang telah dijual komersil dapat juga digunakan lumpur
aktif organik atau cairan rumen. (Simamora,
2006).
III. MATERI DAN METODE
A. Pembuatan Pupuk Kompos
1. Materi
a. Alat
1) Cangkul
2) Karung
3) Plastik
4) Ember
5) Semprotan
6) Timbangan
b. Bahan
1) Feses sapi 20 kg
2) Sekam padi 8 kg
3) EM4 0,322 kg
4) Gula pasir 1 g
5) Serbuk gergaji 3 kg
6) Dedak 2 kg
7) Air secukupnya
2. Metode
a. Menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan sesuai dengan ukuran yang
telah ditentukan.
b. Mencampur kotoran sapi/feses, dedak, serbuk gergaji dan sekam sampai
homogen.
c. Melarutkan EM4 dan gula menggunakan air secukupnya
d. Membagai dua bagian kemudian disemprotkan campuran EM4, air dan gula
pasir tiap ketinggian 30 cm
e. Menumpuk kembali bahan- bahan
f. Menutup dengan plastik hingga rapat (anaerob)
g. Melakukan pembalikan setiap seminggu sekali.
B. Identifikasi Pupuk Kompos
1. Materi
a. Alat
1) Cangkul
2) Kamera
3) pH Meter
4) Termometer
5) Alat Tulis
b. Bahan
1) Pupuk Kompos
2. Metode
a. Pembalikan 1 dan 2
1) Membuka plastic penutup kompos
2) Mengaduk kompos sehingga kompos bagian atas dan
bawah bisa tercampur
3) menumpuk kembali bahan-bahan
4) Menutup dengan plastik hingga rapat
b. Identifikasi Kompos
1) Membuka plastik penutup kompos
2) Mengaduk kompos sehingga kompos bagian atas dan
bawah bisa tercampur
3) Melakukan
identifikasi meliputi kenampakan, warna, tekstur, bau, sifat, suhu dan pH
C. Biogas
1. Materi
a. Alat
1) Alat pengaduk
2) Bak penampung
3) Digester
4) Pipa
b. Bahan
1) Feses sapi
2) Air
3) Starter
2. Metode
a) Kotoran sapi dicampur dengan air hingga terbentuk
lumpur dengan perbandingan 1:1 pada bak penampung sementara.
b) Lumpur dari bak penampungan sementara kemudian di
alirkan ke digester. Pada pengisian pertama digester harus di isi sampai
penuh.
c) Melakukan penambahan starter (banyak dijual
dipasaran). Setelah digester penuh, kran gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi.
d) Gas metan sudah mulai di hasilkan pada hari 10
sedangkan pada hari ke -1 sampai ke - 8 gas yang terbentuk adalah CO2. Pada
komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan menyala.
e) Pada hari ke -14 gas yang terbentuk dapat
digunakan untuk menyalakan api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai
hari ke-14 ini kita sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu
terbarukan. Biogas ini tidak berbau seperti bau kotoran sapi.
f) Digester terus diisi lumpur kotoran sapi secara
kontinyu sehingga dihasilkan biogas yang optimal.
g) Kompos yang keluar dari digester di tampung di
bak penampungan kompos. Kompos cair di kemas ke dalam dirigent.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Pupuk Kompos
1. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pembuatan Kompos
Identifikasi
|
Hasil
|
Warna
Bau
Tekstur
|
Coklat muda
Berbau kotoran Sapi
Menggumpal
|
Sumber: Data Primer Praktikum Pengelolaan Limbah
Peternakan 2014.
Tabel 2.
Pembalikan Kompos Pertama
Identifikasi
|
Hasil
|
Kenampakan
Warna
Bau
Tekstur
Sifat
|
Terdapat embun sebelum plastik
dibuka
Coklat muda
Aroma khas fermentasi agak menyengat
Agak menggumpal
Butiran sekam
|
Sumber: Data Primer Praktikum Pengelolaan Limbah
Peternakan 2014.
Tabel 3. Pembalikan Kompos Kedua
Identifikasi
|
Hasil
|
Kenampakan
Warna
Bau
Tekstur
Sifat
|
Terdapat embun sebelum plastik
dibuka
Coklat kehitaman
Aroma khas fermentasi menyengat
Agak menggumpal
Butiran sekam
|
Sumber: Data Primer Praktikum Pengelolaan Limbah
Peternakan 2014.
Gambar Proses Pencampuran Bahan-Bahan
2. Pembahasan
Praktikum Pengelolaan Limbah Peternakan acara
Pembuatan Pupuk Kompos ini bahan dasarnya adalah kotoran sapi, sekam, dedak,
serbuk gergaji, gula pasir, dan air, yang didekomposisi dengan bahan pemacu
mikroorganisme dalam tanah yaitu EM4 (Effective Microorganisme 4).
Kotoran sapi dipilih karena selain tersedia banyak di lingkungan sekitar juga
memiliki kandungan nitrogen dan potassium, di samping itu kotoran sapi
merupakan kotoran ternak yang baik untuk kompos.
Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak) merupakan
salah satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi kelangkaan dan naiknya
harga pupuk. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk sudah dilakukan petani
secara optimal di daerah-daerah sentra produk sayuran. Sayangnya, masih ada
kotoran ternak tertumpuk di sekitar kandang dan belum banyak dimanfaatkan
sebagai sumber pupuk. Keluhan petani saat terjadi kelangkaan atau mahalnya
harga pupuk non organik (kimia) dapat diatasi dengan menggiatkan kembali
pembuatan dan pemanfaatan pupuk kompos.
Praktikum Pengelolaan Limbah Peternakan acara
Pembuatan Pupuk Kompos ini, kami diberikan tugas untuk membuat bokashi. Bokashi
merupakan hasil fermentasi bahan organik dari limbah pertanian (pupuk kandang,
jerami, sampah, serbuk gergaji, rumput, dll) dengan menggunakan EM4. EM4
merupakan bakteri pengurai dari bahan organik yang digunakan untuk proses
pembuatan bokashi yang dapat menjaga kesuburan tanah sehingga berpeluang untuk
meningkatkan produksi dan menjaga kestabilan produksi. Bokashi selain dapat
digunakan sebagai pupuk juga dapat digunakan sebagai pakan ternak (Djuamani et
al., 2005). Alur dari praktikum pembuatan bokashi ini yaitu mencampur semua
bahan yang telah ditentukan. Bahan-bahan yang sudah dicampur kemudian disemprot
dengan EM4 lalu ditutup rapat menggunakan plastik. Penutupan disini diusahakan
benar-benar rapat agar fermentasi anaerob terjadi di dalamnya. Sehingga bokashi
akan benar-benar dihasilkan.
Kandungan EM4 terdiri dari bakteri fotosintetik yang
membentuk zat-zat bermanfaat yang menghasilkan asam amino, asam nukleat, dan
zat-zat bioaktif yang berasal dari gas berbahaya dan berfungsi untuk mengikat
nitrogen dari udara. bakteri asam laktat berfungsi untuk fermentasi bahan
organik jadi asam laktat, percepat perombakan bahan organik, lignin, dan celluloser,
dan menekan pathogen dengan asam laktat yang dihasilkan actinomicetes
menghasilkan zat anti mikroba dari asam amino yang yang dihasilkan bakteri
fotosintetik. ragi menghasilkan zat antibiotik, menghasilkan enzim dan hormon,
sekresi ragi menjadi substrat untuk mikrorganisme efektif bakteri asam laktat actinomicetes,
cendawan fermentasi ataupun mengurai bahan organik secara cepat yang
menghasilkan alkohol ester anti mikroba, menghilangkan bau busuk, mencegah
serangga, dan ulat merugikan dengan menghilangkan pakan. Cara kerja EM4
tersebut dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme pathogen. EM4 juga
memfermentasikan sisa-sisa makanan dan kulit udang dan ikan pada tanah dasar
tambak menjadi hilang sehingga udang/ ikan dapat hidup lebih baik. EM4 juga memfermentasikan
limbah dan kotoran ternak sehingga lingkungan kandang tidak bau, ternak tidak
mengalami stress sehingga nafsu makannya meningkat (Djuamani et al.,
2005).
B. Identifikasi Pupuk Kompos
1. Hasil Pengamatan
Tabel 4. Identifikasi Pupuk Kompos
Identifikasi
|
Hasil
|
Kenampakan
Warna
Bau
Tekstur
Sifat
Suhu
pH
|
Terdapat embun sebelum plastik
dibuka
Coklat tua (kehitaman)
Seperti tanah
Agak menggumpal
Butiran sekam
36,4°C
6
|
Sumber: Data Primer Praktikum Pengelolaan Limbah
Peternakan 2014.
2. Pembahasan
Prinsip pengomposan atau composting adalah
proses merubah limbah organik menjadi pupuk organik secara biologis dibawah
kondisi yang terkontrol. Tujuan pengomposan limbah ternak melalui kondisi yang
terkontrol adalah untuk membuat keseimbangan porses pembusukan bahan organik
dalam limbah, mengurangi bau, membunuh biji-biji gulma dan organisme
pathogen sehingga menjadi pupuk yang sesuai dengan lahan pertanian. Apabila
kondisi tidak atau kurang terkontrol akan terjadi pembusukan sehingga timbul
bau yang menyengat, timbul cacing dan insekta.Faktor suhu sangat berpengaruh
pada proses pengomposan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran suhu setiap
hari. Suhu optimum bagi pengomposan adalah 40-60o C dengan suhu
maksimum 75o C. Jika suhu kompos sudah mencapai 40o C
maka aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh aktivitas
mikroorganisme termofil termasuk fungi (Marsono, 2002).
Hasil praktikum identifikasi kompos yang telah
didiamkan selama 4 minggu menunjukan karakteristik kompos yang kelompok kami
buat, hasil yang didapatkan yaitu warna akhir pupuk kompos berwarna coklat tua
atau kehitaman. Teksturnya masih menggumpal. Bau kompos akhir sudah seperti bau
khas tanah, tidak berbau kotoran sapi lagi atau bau proses fermentasi. Setelah
dilakukan identifikasi, pupuk kompos belum terbentuk sempurna, dapat dilihat
dari pH yang belum memenuhi kriteria, yaitu 6. Menurut Junaidi (2007), pH
optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. Proses
pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan
itu sendiri.
Hasil identifikasi kompos tersebut, dari pembalikan
pertama sampai dengan pemanenan berlangsung proses fermentasi anaerob yang
ditunjukkan dengan adanya embun pada plastik yang digunakan untuk menutup.
Selain itu kelangsungan proses fermentasi juga ditunjukkan oleh bau kompos yang
khas aroma fermentasi. pH dari fermentasi kompos ini asam yaitu 6, berarti
fermentasi disini juga berlangsung dengan baik. Akan tetapi, pada pH tersebut
bukanlah pH optimum pengomposan.
Menurut Zulkarnain (2010), manfaat dari bokashi itu sendiri antara
lain :
1. Meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanam
2. Kandungan hara dalam pupuk bokashi lebih tinggi
dibandingkan dengan pupuk kompos.
3. Periode tumbuh pada tanaman lebih cepat.
4. Peningkatan aktivitas mikroorganisme yang
menguntungkan seperti mychoryza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat, dll.
5. Menghambat pertumbuhan hama dan penyakit yang
merugikan tanaman.
Bila bokashi dimasukkan kedalam tanah bahan
organiknya dapat digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme, efektif untuk
berkembang biak dalam tanah, dan sekaligus sebagai tambahan persediaan unsur
hara bagi tanaman. Pembuatan bokashi sangat perlu diterapkan karena merupakan
teknologi baru yang tepat guna, dengan biaya murah serta mudah dilaksanakan
dengan memanfaatkan limbah ternak dan limbah pertanian yang ada. Negara jepang
sudah menggunakan bokashi sejak tahun 80-an dan petani di negara tersebut
menggunakannya dikarenakan bokashi dapat memperbaiki struktur tanah yang
sebagian besar telah menjadi keras akibat penggunaan pupuk kimia secara terus
menerus. selain itu juga bokashi terbukti meningkatkan kesuburan tanah secara
terus menerus dan produktifitas tanaman.
C. Biogas
1. Hasil Pengamatan
Tabel 4.
Biogas
Spesifikasi
|
Keterangan
|
Jumlah digester
|
2 buah, terletak di dekat
kandang atas dan kandang bawah
|
Kapasitas digester
|
Atas 28 m3 mampu
menyuplai gas untuk 5 KK, bawah 30 m3 mampu menyuplai gas untuk 9
KK
|
Komposisi
|
Feses sapi dan air dengan
perbandingan 1:1
|
Aktivator
|
Stimulator plus
|
Sumber: Data Primer Praktikum Pengelolaan Limbah
Peternakan 2014.
2. Pembahasan
Praktikum Pengelolaan Limbah Peternakan acara
kunjungan biogas diperoleh hasil bahwa komposisi biogas yang digunakan adalah
feses sapi dan air. Hal ini dikarenakan ketersediaan feses sapi yang terus ada
yang berasal dari peternakannya karena feses merupakan material organik yang
bisa digunakan sebagai bahan pembuatan biogas. Menurut Willyan (2008),
menyatakan bahwa biogas (gas bio) merupakan gas yang ditimbulkan jika
bahan-bahan organik, seperti kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah,
direndam didalam air dan disimpan didalam tempat tertutup atau anaerob. Proses
terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh
mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar. Secara kimia,
reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi
tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik.
Digester yang ada pada kunjungan tersebut ditanam
dalam tanah, hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan proses fermentasi agar
tidak terpengaruh adanya perubahan panas diatas permukaan tanah. Senyawa yang
dihasilkan dari digester antara lain gas metana, serta uap air yang bersifat
korosif. Hal ini sesuai dengan pendapat Chisti (2007) yang menyatakan bahwa
biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4), karbondioksida (CO2) dan
beberapa kandungan yang jumlahnya kecil diantaranya hidrogen sulfida (H2S),
ammonia (NH3), hidrogen (H2) serta nitrogen (N2) yang kandungannya sangat
kecil. Untuk meningkatkan kualitas biogas dilakukan penyaringan pada komponen
penyaluran biogas sebelum dialirkan kepada konsumen dipasang alat yang disebut
absorber. Absorber ini berfungsi untuk meningkatkan gas metana yang dihasilkan
serta mengurangi kadar uap air agar peralatan yang digunakan lebih awet. Hal
ini sesuai dengan pendapat Juanga (2007) yang menyatakan bahwa kualitas biogas
dapat ditingkatkan dengan beberapa perlakuan yaitu menghilangkan hidrogen
sulphur, kandungan air dan karbondioksida (CO2). Hidrogen sulphur mengandung
racun dan zat yang menyebabkan korosi, bila biogas mengandung senyawa ini maka
akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang diijinkan
maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka hidrogen sulphur akan lebih berbahaya
karena akan membentuk senyawa baru bersama-sama oksigen, yaitu sulphur
dioksida/sulphur trioksida (SO2 / SO3) dan senyawa ini lebih beracun. Pada saat
yang sama akan membentuk sulphur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih
korosif. Perlakuan selanjutnya adalah menghilangkan kandungan karbondioksida
yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan
untuk bahan bakar kendaraan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari rangkaian Praktikum
Pengelolaan Limbah Peternakan ini antara lain:
1. Pembuatan kompos pembalikan pertama didapatkan
hasil yaitu terdapat embun sebelum plastik dibuka, berwarna coklat muda, bau
khas fermentasi agak menyengat, teksturnya agak menggumpal, dan sifatnya
butiran sekam.
2. Pembuatan kompos pembalikan kedua didapatkan
hasil yaitu terdapat embun sebelum plastik dibuka, berwarna coklat kehitaman,
bau khas fermentasi menyengat, teksturnya agak menggumpal, dan sifatnya butiran
sekam.
3. Identifikasi kompos didapatkan hasil yaitu
terdapat embun sebelum plastik dibuka, berwarna coklat tua (kehitaman), bau
seperti tanah, teksturnya agak menggumpal, sifatnya butiran sekam, suhu 36,4°C,
pH 6.
4. Kunjungan Biogas didapatkan hasil yaitu
digesternya berjumlah 2 terletak di dekat kandang atas dengan kapasitas 28 m3
dan kandang bawah dengan kapasitas 30 m3.
5. Komposisi substrat yaitu feses sapi dan air
dengan perbandingan 1:1, dengan tambahan aktivator berupa stimulator plus.
B. Saran
Saran untuk praktikum Pengelolaan Limbah selanjutnya
yaitu:.
1. Diharapkan adanya komunikasi yang interaktif
saat kunjungan.
2. Diharapkan praktikan lebih memperhatikan apa
yang disampaikan asisten, dosen, maupun narasumber sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman.
DAFTAR PUSTAKA
Chisti, Y. 2007. Biodiesel from Microalgae. Journal of Biotechnology Advances. Volume (25):294-306.
Crawford, J. 2003. Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and Research. p. 68-77.
Djuamani, N., Kristian dan S.S Budi. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agro Media Pustaka. Jakarta
Farida,
E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah
Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah
Eiseniafoetidasavigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ginting.
2007. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Universitas Sumatera Utara Repository. Medan.
Hambali, E. 2008. Pengaruh
Pupuk Organik Dan Pupuk Kandang Sapi. Agro Media. Jakarta.
Hidayat, N., P.
Masdiana dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Indroprahasto, S.
2010. Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia. Bogor.
Isroi, 2008. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor.
Juanga, A. 2007. Biogas untuk Masa Depan Pengganti BBM. Jurnal Ilmiah Indonesia. Volume(4):25.
Junaidi, S. 2007. Pengolahan
Kotoran Ternak menjadi Pupuk. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Kaharudin
dan F.M. Sukmawati. 2010. Manajemen Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas.
Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Barat.
Kristianto. 2007. Menyulap Sampah Menjadi Kompos. Pusat Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Lingkungan-BPP Teknologi, Hal. 21.
Marsono.
2002. Cara Mudah Fermentasi Urine Sapi Untuk Pupuk
Organik Cair. http://www.gerbangpertanian.com/2010/04/cara-mudah-fermentasi-urine-sapi-untuk.html. Diakses pada Hari Selasa,
29 April 2014 pukul 12.36 WIB.
Nurhasanah. 2005. Biogas Sebagai Energi Alternatif. Penerbit
Media Pustaka Press. Jakarta.
Rahayu, E dan S.
P. Nur. 2002. Isolasi dan Seleksi
Lactobacillus yang Berpotensi Sebagai Agensi Probiotik.
Agritech Vol.23 No.2 Hal 67-74.
Ramdani. 1985. Pengaruh
perbedaan Pengomposan dan Pemberian Aktivator Kotoran Sapi Terhadap Kecepatan
Dekomposisi Sampah Organik, Produksi, dan Kualitas Kompos. Laporan Masalah
Khusus. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rorokesumaningwati. 2000. Pupuk dan Pemupukan. Universitas Mulawarman Press. Samarinda.
Santoso dan
Kurniati. 2000. Pemanfaatan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiawan, A. I.
2008. Memanfatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Simamora. 2006. Membuat
Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suardana, W. 2007. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam
Laktat dari Cairan Rumen Sapi Bali sebagai Kandidat Biopreservatif. Jurnal Veteriner Vol.8 No.4:155-159.
Wahyuni, S. D.
2009. Bokashi dan Manfaatnya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wahyono, D. 2011. Kompos
dan Pengomposan. Agro Media. Jakarta.
Willyan, D. 2008. Langkah
Jitu Membuat Kompos Dari Kotoran Ternak. Agro Media.
Jakarta.
Yusuf, Y. 2000. Pengaruh
Pemberian Bokashi Batang Jagung Terhadap Kelengketan Tanah (Soil
Stickiness) pada Alat Pengolahan Tanah Bajak Singkal.
Skripsi Program Sarjana Institut Pertanian Bogor Repository. Bogor.
Zulkarnain. 2010. Dasar-Dasar Hortikultura. PT Bumi Aksara. Jakarta.