MAKALAH KASUS SAPI GLONGGONGAN
Kamis, 04 Desember 2014
Edit
Sapi glonggongan adalah sapi yang diberikan minum
sampai lemas sebelum dilakukan pemotongan. Daging glonggongan adalah daging
yang berasal dari sapi yang sesaat sebelum disembelih diberi minum
sebanyak-banyaknya untuk menambah berat daging ( Murhadi, 2009).
Ada dua jenis daging sapi
glonggongan. Antara lain adalah a) daging yang berasal dari sapi glonggongan
dimana pengglonggongan dilakukan sebelum sapi mati, b) daging yang berasal dari
daging glonggong dimana pengglonggongan dilakukan setelah sapi mati. Ciri-ciri
daging yang berasal dari sapi glonggongan adalah
a.
Warnanya pucat kebiruan (daging yang masih baik
berwarna merah terang dan lemaknya berwarna kekuningan).
b.
Kandungan air sangat tinggi sekitar 10% dari daging
normal.
c.
Kondisinya agak rapuh sehingga tidak bisa dijadikan
sejumlah produk olahan, seperti bakso.
d.
Hanya dapat bertahan selama 7-8 jam saja.
e. Biasanya
harganya lebih murah.
Nova Lutfianto,
Malang Post tanggal 25 September 2008
Daging
sapi glonggongan
1. Tempat
kejadian
Menurut Kompas.com 25 September
2008 Dinas Pertanian Solo memusnahkan 100 Kg daging sapi gelonggongan yang
disita dari tujuh pedagang di pasar Jongke, pasar Sidodadi Kleco, pasar Nongko
dan pasar Nusukan Solo. Detik News.com tanggal 1 Oktober 2007 menuliskan bahwa
menurut wakil ketua komisi B DPRD Jawa Tengan terdapat daging glonggongan di
Magelang, Brebes dan Rembang. Indosiar.com 11 September 2008 menuliskan bahwa
telah ditemukan daging sapi gelonggongan di pasar Dlangu dan Pedan, Klaten
Provensi Jawa Tengah. Anatar News.com 11 September 2008 menuliskan telah
ditemukan daging gelonggongan di Tulung Agung seberat 7 kuintal yang kemudian
akan dijual di pasar Setono, Betek, Kediri.
2. Proses
penggelonggongan
Malang Post tanggal 16 September
2008 yang ditulis oleh Nova Lutfianto meyatakan bahwa ada dua jenis daging
glonggongan yang ada di pasaran. Kedua jenis tersebut adalah a) daging yang
berasal dari sapi glonggongan dimana pengglonggongan dilakukan sebelum sapi
mati, b) daging yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan
dilakukan setelah sapi mati. Jenis pertama menurut Dinas Peternakan Jawa Tengah
yang ditulis oleh Danang tanggal 8 Juli 2008 proses penggelonggongan untuk
jenis pertama diawali dengan meletakkan kaki depan sapi lebih tinggi
dibandingkan dengan kaki belakang sapi. Setelah sapi dalam posisi demikian, mulut
sapi dimasuki selang sampai kedalaman 1,5 meter. Selang yang telah masuk
tersebut kemudian dialiri dengan air. Banyaknya air yang di masukkan ke dalam
tubuh sapi antara 30-40 liter setiap ekor sapi menurut Kedaulatan Rakyat yang
ditulis oleh Muhammad Subchi tanggal 21 November 2008. Sapi diistirahatkan
sekitar 6-8 jam setelah perut sapi terisi penuh dengan air. Penggelonggongan
dilakukan untuk menambah berat sapi bertamabh menjadi 10-15 Kg dari berat awal.
Cara kedua menurut Malang Post
tanggal 16 September 2008 yang ditulis oleh Nova Lutfianto yaitu
penggelonggongan dilakukan dengan cara memasukkan air setelah sapi mati. Ada
beberapa cara ang dapat dilakukan untuk memasukkan air setelah sapi mati. Cara
pertama adalah air dimasukkan dengan selang ke dalam perut sapi sampai terisi
penuh dan didiamkan sekitar 6 jam. Cara kedua yang dilakukan adalah dengan cara
menyuntikkan air ke dalam daging sapi yang telah disembeli sehingga dagig
menjadi lebih berat. Dengan cara-cara yang telah dipaparkan diatas
mengakibatkan 30-40% dari tubuh sapi adalah air.
Radar Solo yang ditulis 22 Juni
2009 menyatakan bahwa peternak yang melakukan aksi penggelonggongan akan
melaksanakan aksinya setelah menerima pesanan dari pedagang daging glonggongan.
Pedagang dan peternak sudah memiliki kesepakatan tersendiri tentang hal
tersebut. Peternak melakukan aksi menggelonggong pada waktu malam hari dan pada
saat pagi hari daging akan diantar ke pedagang untuk dijual.
3. Perubahan
yang terjadi dibandingkan daging normal
Menurut Kedaulatan Rakyat yang
ditulis oleh Muhammad Subchi tanggal 21 November 2008 menyatakan bahwa daging
glonggongan mengandung bakteri sebanyak empat kali lipat bila dibandingkan
dengan daging sehat. Daging glonggongan dinyatakan tercemar oleh bakteri Salmonella,
Clostridium, dan Listeria. Akibat lain dari penggeolonggongan
sapi adalah terjadinya penurunan protein dari 21,08% pada daging normal menjadi
15,98% pada daging glonggongan. Susut masak daing juga akan meningkat dari
37,25% pada daging norman menjadi 47% pada daging glonggongan. Peningkatan
tersebut diikuti dengan penurunan kandungan asam laktat dari 6.827,77 ppm pada
daging normal menjadi 2.815,891 ppm pada daging glonggongan.
Perubahan daging glonggongan secara
fisik adalah daging akan menjadi pucat kebiruan, lembek, berair, seratnya rapuh
dan mudah busuk. Hal ini sangat mirip dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh
daging PSE. Daging PSE adalah daging yang disebabkan oleh pH
daging yang sangat rendah. Daging ini terjadi karena hewan yang disembelih
dalam keadaan stress dan jumlah glukosa yang ada dalam otot daging masih
banyak. Daging ini didapat dari daging hewan yang stress dalam waktu yang
singkat sehingga kandungan glikogen dalam otot masih tinggi. Keadaan hewan yang
mengalami stress sesaat sebelum pemotongan akan meningkatkan laju glikolisis
yang terjadi pada daging sebagai akibat kompensasi dari stress yang dialaminya.
Kecepatan glikolisis ini akan menyebabkan penurunan pH dari daging karena hasil
glikolisis adalah asam laktat dan akan meningkatkan suhu pada daging. pH yang
rendah akibat produksi asam oleh proses glikolisis suhu yang tinggi ini akan
meningkatkan degradasi dari protein. Degradasi protein yang tinggi akan
menyebabkan daya ikat air oleh protein akan menurun dan banyak air yang keluar.
Hal ini yang menyebabkan daya ikat daging terhadap air turun. Banyaknya air
yang keluar akan mengakibatkan permukaan daging basah. Banyaknya air yang
keluar yang menutupi permukaan daging akan menghalangi oksigen masuk ke dalam
daging sehingga daging akan berwarna pucat. Daging PSE cenderung lembek karena
protein yang terdenaturasi sehingga banyak air yang keluar sehingga kandungan
air dalam daging menurun (Klosowska, 1999)
4. Bahaya
terhadap kesehatan dan pengaruhnya terhadapa pengolahan
Menurut Kedaulatan Rakyat yang
ditulis oleh Muhammad Subchi tanggal 21 November 2008 menyatakan bahwa daging
glonggongan mengandung bakteri sebanyak empat kali lipat bila dibandingkan
dengan daging sehat. Daging glonggongan dinyatakan tercemar oleh bakteri Salmonella,
Clostridium, dan Listeria yang dapat menyebabkan keracunan dan
diare bagi yang menkonsumsinya. Hal inilah yang menyebabkan daging berbahaya
dan cepat bsuk.
Peningkatan pertumbuhan mikroba
menjadi empat kali lipat dari daging normal disebabkan oleh meningkatnya
kandungan air yang dimiliki oleh daging. Air adalah factor pendukung dalam
pertumbuhan mikroba. Apabila kebutuhan air mencukupi maka mikroba akan berkembang
dengan sangat baik. Hal ini akan berakibat pada banyak berkumpulnya hasil
metabolism mikroba yang bersifat racun pada manusia sehingga akan sangat
berbahaya karena akan menimbulkan keracunan.
Daging gelonggongan memiliki cirri
yang sangat mirip dengan daging PSE (pale, soft and exudates). Daging
jenis ini akan sangat sukar untuk diolah. Hal ini karena daya
ikat air dari daging ini sangat rendah. Banyak protein daging yang hilang pada
daging ini. Pada pengolahan protein berfungsi sebagai rangka bangun atau biasa
diebut dengan matrik. Apabila mtrik atau rangka bangun ini kurang atau bahkan
tidak ada maka makanan itu tidak akan jadi secara baik. Begitu juga yang
terjadi pada bakso (Klosowska, 1999).
5. Membedakan
daging gelonggongan
Ada banyak cara yang bisa dilakukan
oleh pedagang daging yang nakal bin jahat kepada para konsumennya mulai dari
mencampur bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam daging hingga membuat dagingnya
menjadi daging gelonggongan. Daging gelonggong adalah daging yang banyak
mengandung air karena memang sengaja dibuat begitu agar timbangan daging lebih
berat sehingga bisa meraup keuntungan yang besar dari menjual air.
Sadis memang, karena sapi yang
hendak disembelih dipaksa minum air sebanyak mungkin hingga tubuhnya
membengkak. Sapi-sapi naas tersebut diberi minum air melalui selang yang
dimasukkan paksa ke dalam mulutnya. Setelah sapi tersebut penuh dengan air dan
dirasa airnya sudah menyebar ke seluruh tubuh termasuk daging, barulah sapi
dipotong seperti layaknya sapi-sapi normal. Yang jelas daging sapi gelonggongan
banyak mengandung air sehingga merugikan orang yang membeli daging tersebut
dengan harga normal.
Untuk mengenali daging gelonggongan
diperlukan kejelian dan kewaspadaan kita. Periksa kondisi daging sebaik mungkin
sebelum dibeli. Selain daging periksa juga timbangan penjual, karena ada saja
penjual yang nakal yang memodifikasi alat timbangannya sehingga menguntungkan
dirinya sendiri. Hati-hati dengan harga murah yang jauh dari harga normal,
karena bisa saja daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging busuk dicampur
bahan kimia, dan lain sebagainya. Daging gelonggong biasanya jika digantung
akan menyebabkan ada air menetes ke bawah. Lihat pula warna daging apakah masih
merah segar atau merah pucat. Serat daging biasa yang tidak digelonggongi akan
nampak wajar tidak menggelembung.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan
oleh pedagang daging yang nakal bin jahat kepada para konsumennya mulai dari
mencampur bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam daging hingga membuat dagingnya
menjadi daging gelonggongan. Daging gelonggong adalah daging yang banyak
mengandung air karena memang sengaja dibuat begitu agar timbangan daging lebih
berat sehingga bisa meraup keuntungan yang besar dari menjual air.
Sadis memang, karena sapi yang
hendak disembelih dipaksa minum air sebanyak mungkin hingga tubuhnya
membengkak. Sapi-sapi naas tersebut diberi minum air melalui selang yang
dimasukkan paksa ke dalam mulutnya. Setelah sapi tersebut penuh dengan air dan
dirasa airnya sudah menyebar ke seluruh tubuh termasuk daging, barulah sapi
dipotong seperti layaknya sapi-sapi normal. Yang jelas daging sapi gelonggongan
banyak mengandung air sehingga merugikan orang yang membeli daging tersebut
dengan harga normal.
Untuk mengenali daging gelonggongan
diperlukan kejelian dan kewaspadaan kita. Periksa kondisi daging sebaik mungkin
sebelum dibeli. Selain daging periksa juga timbangan penjual, karena ada saja
penjual yang nakal yang memodifikasi alat timbangannya sehingga menguntungkan
dirinya sendiri. Hati-hati dengan harga murah yang jauh dari harga normal,
karena bisa saja daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging busuk dicampur
bahan kimia, dan lain sebagainya. Daging gelonggong biasanya jika digantung
akan menyebabkan ada air menetes ke bawah. Lihat pula warna daging apakah masih
merah segar atau merah pucat. Serat daging biasa yang tidak digelonggongi akan
nampak wajar tidak menggelembung
6.
Peraturan pemerintah yang mengatur
Beberapa peraturan pemerintah dan Undang_undang
yang dilanggar oleh adanya kasus penggelonggongan
a.
Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan,
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
c.
Undang-undang Nomor 6 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
d.
Undang-undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3656);
e. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
f.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
g.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/
TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha
Pemotongan Hewan;
Para pelaku penggelonggongan diancam jeratan pasal berlapis, beberapa
diantaranya ialah Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dengan
ancaman penjara 15 tahun datau denda Rp. 300 juta, lalu Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, mengedarkan pangan yang mengandung bahan kotor,
busuk, tengik, dan terurai, atau bahan yang berasal dari bangkai sangat
dilarang. Ancaman adalah penjara selama 1 tahun atau denda sebesar Rp 120 juta
serta Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen No 8/1999 dan UU No 7/1996
tentang Pangan, dengan ancaman kurungan lima tahun dan denda sebesar 2 miliar
rupiah.
Masyarakat
boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya
yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak
sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU
Perlindungan Konsumen ini.
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut
telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa. Undang-undang
No.6 Tahun 1967 tentang pokok kesehatan. Yang pasti, pada pelaku perdagangan
daging bermasalah bisa dikenakan Pasal Pasal pidana yang diatur dalam
Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP), khususnya dengan Pasal pidana
penipuan.
Dari
ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh
para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha
untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota
pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun
dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula
tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping
pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah
tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal
harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut
jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana
pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam
kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu
banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi
Perdata
:
a.
Ganti
rugi dalam bentuk :
b.
Pengembalian
uang atau
c.
Penggantian
barang atau
d.
Perawatan
kesehatan, dan/atau
e.
Pemberian
santunan
f.
Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
a. maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
a.
Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
b.
Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
a.
Hukuman
tambahan , antara lain :
b.
Pengumuman
keputusan Hakim
c.
Pencabuttan
izin usaha;
d.
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
e.
Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
f. Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
DAFTAR
PUSTAKA
Danang. 2008. Daging Glonggongan. Dinas Peternakan Jawa Tengah
Klosowska,D., Faruga,A.,
Puchajda,H., Luther,R., Elminowska-Wenda,G., & Hejnowska,M.
(1999) Fat content and
some physico-chemical properties of breast and thigh muscle in turkeys of
different genotypes. Proceedings of the XIV European symposium on quality of
poultry meat 19-23 September, 1999, Bologna. Volume 1 p.65-69.
Murhadi. 2009. Daging Aman, Sehat
dan Utuh. Kedaulatan Rakyat. Koran Harian. Jawa tengah.
Subchi, 2008. Daging Glonggongan
Berbahaya Bagi Kesehatan. http://kmtphp.tp.ugm.ac.id/index.php/Blog/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=9
http://bachtiarseptiyadi.blogspot.com/2012/06/hukum-perlindungan-konsumen.html
http://www.kantorhukum-lhs.com/1.php?id=Sanksi-Pidana-UU-Perlindungan-Konsumen