PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA AYAM
Kamis, 05 Februari 2015
Edit
Penyakit
Gumboro atau Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit
pada ayam yang pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962
berdasarkan kasus yang terjadi pada tahun 1957 di desa Gumboro-Delaware, negara
bagian Amerika Serikat. Sesuai dengan nama asal daerah ditemukannya, penyakit
ini dikenal juga sebagai Gumboro. Penyebab penyakit gumboro (IBD) adalah virus
yang berbentuk icosahedral yang terdiri dari 2 segmen untaian ganda RNA,
yang termasuk dalam famili Birnaviridae (Lukert dan Saif, 2003) Virus very
virulent IBD (vvIBDv) bersifat sangat menular dan akut, menyebabkan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini berdampak ekonomis karena
menyerang organ pertahanan ayam yaitu bursa Fabricius sehingga merugikan
peternak. Ayam yang terserang gumboro (IBD) menjadi rentan terhadap infeksi
sekunder, serta mengakibatkan kegagalan vaksinasi (Lukert dan Saif, 2003).
NAMA
LAIN
Nama lain: Infectious Bursal Disease
(IBD), Avian nephrosis atau Avian Infectious Bursitis. Merupakan penyakit
menular akut pada ayam berumur muda yang ditandai dengan peradangan berat bursa
fabrisius dan bersifat immunosupresif yaitu lumpuhnya system pertahanan tubuh
ayam yang mengakibatkan turunnya respon ayam terhadap vaksinasi dan ayam-ayam
menjadi lebih peka terhadap pathogen lainnya.
ETIOLOGI
Virus penyebab Gumboro (IBD) yang
dikenal saat ini terdiri dari 2 serotipe yaitu serotipe 1 dan serotipe 2 yang
dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali ditemukan
disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain yang
ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang sangat
ganas yaitu very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD tersebut merupakan
hasil mutasi dari virus klasik, sementara serotipe 2 tidak bersifat ganas.
Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji virus netralisasi (VN) tetapi tidak
dapat dibedakan dengan Flourescent Antibody Technique (FAT) dan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (Elisa) (Lukert dan Saif, 2003). Virus
IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan
dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral (Hirai dan
Shimakura, 1974). Virus ini tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai
dengan namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A
mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri dari 2 bagian Open Reading
Frame, yaitu A1 dan A2.
PATOGENESIS
Patogenesis adalah jalannya virus sehingga
menimbulkan lesi, yang dapat menyebabkan kematian, penyakit atau efek
imunosupresif pada ayam. Penyakit Gumboro (IBD) menyerang ayam umur 3 – 6
minggu pada saat perkembangan bursa Fabricius mencapai optimum. Pada
saat yang sama antibodi asal induk mulai menurun, sehingga ayam rentan terhadap
infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit Gumboro (IBD) tidak membahayakan bagi
ayam yang telah mengalami regresi bursa Fabricius, karena target sel
virus IBD adalah sel limfoid bursa Fabricius yang sudah matang. Infeksi
IBD menyebabkan kerusakan pada bursa Fabricius yang berupa nekrosis dan
apoptosis pada sel limosit B Infeksi pada umumnya melalui oral bersama pakan
yang tercerna virus masuk ke dalam usus. Virus kemudian ditangkap oleh sel
makrofag atau limfosit sebagai Antigen Precenting Cell (APC). Keberadaan
IBD dapat dideteksi 13 jam paska infeksi pada sebagian besar folikel (Van Den
Berg, 2000).
Penyebab kematian belum diketahui secara pasti.
Namun demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana
terjadi respon imun yang berlebihan, yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi TNF-α yang berlebihan di dalam serum darah ayam, yang kemudian
diikuti terjadinya kematian (Sharma et al. dalam Asraf, 2005).
Infeksi virus IBD yang ganas menyebabkan kerusakan
yang parah hingga terjadi deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius,
sehingga ukuran bursa terlihat mengecil, hingga mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran
bursa Fabricius pada ayam kontrol. Bila tidak terjadi penyembuhan pada
bursa Fabricius ayam, akan menyebabkan hambatan produksi antibodi yang
dibentuk oleh sel B. Selain itu pada infeksi IBD banyak sel makrofag dan sel
heterofil yang mengalami nekrosis dan apoptosis menyebabkan fungsi fagositosis
yang menurun (Lam, 1998). Kedua kondisi tersebut menyebabkan ayam yang
terinfeksi IBD menjadi imunosupresif.
GEJALA
KLINIS
Gejala klinis yang terlihat sangat tergantung dari strain
virus yang menginfeksi ayam, jumlah virus, umur, galur ayam, rute inokulasi
dan keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al., 2003). Virus yang
masuk ke dalam tubuh ayam ditangkap makrofag, yang kemudian melepaskan sitokin
yang menimbulkan respon inflamasi.
Gejala klinis ditimbulkan oleh infeksi IBD adalah
ayam lesu, nafsu makan menghilang dan sayap menggantung (Park et al.,
2009; Acribasi et al., 2010). Selain itu juga sering ditemukan gejala
diare, serta kotoran yang menempel pada kloaka (Parede et al., 2003). Pada
ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis mulai terlihat pada 48 jam pi
dan gejala klinis semakin parah pada 56 – 72 jam paska infeksi (William dan
Davison, 2005). Sementara itu, pada ayam yang divaksinasi, gejala klinis
terlihat 3 hari pasca tantang, dan ayam-ayam tersebut mati setelah 2 – 3 hari
memperlihatkan gejala klinis (Park et al., 2009). Ayam yang bertahan
hidup, pertumbuhan menjadi terhambat dan sering kali ditemukan infeksi sekunder
seperti Newcastle Disease, Coli Bacillosis dan Coccidiosis (Muller
et al., 2003).
Wabah IBD akut yang disebabkan virus IBD klasik yang
menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai dengan angka morbiditas
yang tinggi namun secara klinis terlihat ada penyembuhan setelah 5 – 7 hari
ayam sakit. Infeksi pada ayam yang mempunyai antibodi maternal menunjukkan
gejala subklinis, namun lesi dapat diamati secara histopatologik (Lukert dan
Saif, 2003)
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit gumboro (IBD) dapat ditegakkan
berdasarkan pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi.
Perubahan patologi yang patognomonik adalah perubahan yang ditemukan pada bursa
Fabricius. Namun demikian, diagnosis gumboro (IBD) sebagai penyebab
primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala infeksi
virus gumboro (IBD) mirip dengan ND atau penyakit lain penyebab imunosupresif.
Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi
keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius. Antigen virus
IBD dapat dideteksi 3 jam paska infeksi pada bagian korteks folikel limfoid
bursa Fabricius. Antigen dapat dideteksi pada makrofag di dalam folikel
bursa Fabricius dan pada sel epitel 96 jam paska infeksi (Oladele et
al., 2009). Keberadaan antigen IBD pada bursa Fabricius berkorelasi
positif dengan terjadinya lesi pada bursa Fabricius (Rautenschlein et
al., 2005).
Antigen virus IBD juga terdeteksi pada organ timus,
limpa, secal tonsil, sel epitel tubulus dan glomerulus ginjal, lapisan mukosa
dan glandula pada proventrikulus serta pada sel Kupffer pada hati
(Oladele et al., 2009). Antigen virus IBD juga dapat dideteksi pada itik
dan kalkun yang diinfeksi dengan virus IBD, namun demikian jumlah antigen yang
dideteksi relatif lebih sedikit (Oladele et al., 2009)
Diagnosis penyakit gumboro (IBD) dapat juga
dilakukan dengan cara mengisolasi virus yang diduga sebagai penyebab, yang
ditumbuhkan pada telur ayam berembrio berumur 11 hari atau biakan jaringan,
namun diperlukan waktu relatif lama dan tidak semua strain virus IBD
dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus dapat
digunakan untuk mendeteksi IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara
IBD klasik dan IBD varian (Oie, 2008). Sedangkan Antigen-capture ELISA
dapat digunakan untuk membedakan antara IBD sangat virulen dengan IBD yang
kurang patogen. Sementara itu, teknik RT-PCR dapat membedakan serotipe IBD,
sedangkan subtipe IBD dapat dibedakan dengan real-time RT-PCR (Currie,
2002). Virus IBD dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat sebagai blok
parafin dengan real time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada
korelasi positif antara lesi dan hasil deteksi antigen (Hamoud dan Villegas,
2006).
PENYEBARAN
Penyebaran penyakit sudah sampai ke Indonesia pada
tahun 1983, ketika ditemukan kasus di Sawangan, Bogor (Partadiredja et al.,
1983). Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD telah menyebar ke berbagai
wilayah di Indonesia dan hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa
hampir semua isolat yang diperoleh berkerabat dekat dengan virus very virulent
IBD (vvIBDv) (Parede et al., 2003).
Penularan penyakit gumboro dari satu ayam ke ayam
lain sangat cepat dalam waktu singkat ( 18 - 36 jam) seluruh ayam dalam kandang
dapat ketularan. Kematian terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5. Penybaran
benih-benih penyakit melalui makanan,air minum, alat-alat dan tempat-tempat
yang tercemar oleh feces dan makanan yang dimuntahkan. Virus penyakit gumboro
stabil dan resisten, dapat dipindahkan satu tempat ketempat yang lain oleh
orang, alat-alat peternakan yang tercemar. Sebuah peternakan yang pernah terjangkit
Virus gumboro, maka Virus ini akan tetap infektip dan berdiam dalam peternakan
tersebut untuk waktu yang lama. Menurut penelitian virus gumboro dapat hidup
sampai 122 hari. Tidak ada carrier (hewan yang sembuh dan mwngandung virus yang
dapa6t ditularkan). Penyakit ini tidak dapat dipindahkan melalui telur yang
ditetaskan dan diduga juga tidak dapat disebakan melalui udara.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Usaha
pencegahan dan pengendalian supaya gumboro tidak mewabah adalah:
a. Melakukan sanitasi lingkungan secara berkala,
dengan disinfektan.
b. Memberikan kondisi nyaman pada ayam terutama
pada masa brooder, suhu brooder sesuai dengan kebutuhan anak ayam.
Disesuaikan juga kondisi lingkungan, apabila suhu lingkungan sangat panas
suhu brooder bisa disesuaikan. Pemberian pakan berkualitas dan minum dengan
vitamin elektrolit dan anti strees. Perlakuan anak kandang yang baik, karena
apabila perlakuan tidak baik dapat mengakibatkan stress pada ayam, dengan
stress dapat menurunkan system kekebalan tubuh.
Pengendalian terhadap penyakit IBD yang efektif
adalah dengan melakukan program vaksinasi yang teratur disertai dengan program
biosekuritas, diikuti dengan deteksi titer antibodi untuk mengetahui
keberhasilan vaksinasi dengan uji serum netralisasi atau ELISA (Oie, 2008)
1. Vaksinasi
Vaksinasi
pada ayam pembibit merupakan langkah terpenting untuk mengendalikan gumboro
(IBD), karena antibodi yang diproduksi induk akan diturunkan melalui telur
kepada anak. Antibodi maternal dengan titer yang baik akan memproteksi ayam melawan
penyakit gumboro (IBD). Sebagai contoh, program vaksinasi pada ayam petelur
dapat dilakukan pada umur 12 sampai 15 hari dengan vaksin IBD aktif. Pada umur
30 – 33 hari dengan vaksin IBD aktif dan pada umur 85 hari dengan vaksin
inaktif, serta pada umur 120 hari dengan vaksin inaktif (Butcher dan Milles,
2003). Vaksinasi ulang pada umur 38 – 40 minggu dengan vaksin inaktif perlu
dilakukan jika ayam pembibit mempunyai titer antibodi yang rendah atau tidak
seragam. Monitoring titer antibodi perlu dilakukan secara rutin untuk
mengetahui apakah ayam telah memberikan respon yang baik atau untuk mengetahui
aplikasi vaksin sudah dilakukan dengan benar atau belum.
Pencegahan
dan pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial diperlukan untuk
mencegah penyakit IBD yang bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yang
digolongkan berdasarkan patogenisitasnya yaitu; mild, intermediate dan virulent.
Tipe vaksin IBD intermediate paling umum digunakan. Vaksin ini dapat
menstimulasi ayam pedaging dalam memproduksi antibodi lebih awal dari pada tipe
vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan bursa Fabricius seperti
pada tipe vaksin virulen (Oie, 2008). Waktu vaksinasi tergantung pada titer
antibodi maternal pada anak ayam. Titer antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi
virus yang berasal dari vaksin. Jadi hanya sedikit respon kekebalan aktif yang
akan dihasilkan, sehingga ayam akan mudah terinfeksi penyakit karena antibodi
menurun, dan vaksinasi kemungkinan menjadi tidak efektif jika ayam
terkontaminasi dengan virus IBD lapang yang lebih virulen. Vaksinasi IBD pada
embrio merupakan alternatif vaksinasi yang memberikan kelebihan dibandingkan
dengan vaksinasi setelah menetas yang umum digunakan. Hal ini disebabkan karena
pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternal tidak perlu
dimonitor untuk menentukan kapan vaksinasi harus dilakukan. Selain itu, hasil
penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo dengan virus yang
telah diatenuasikan tidak merusak bursa Fabricius dan dapat memberikan
proteksi hingga 100% pada ayam yang ditantang pada umur 3 minggu (Moura et
al., 2007). Meskipun vaksinasi menyebabkan perubahan HP pada organ bursa
namun penyembuhan lebih cepat terjadi pada ayam yang divaksin in ovo daripada
yang divaksin pascamenetas (Rautenschlein dan Haase, 2005). Namun, kelemahan
vaksin ini adalah memerlukan alat vaksin masal dan ukuran telur yang seragam
sehingga aplikasi vaksin tepat pada posisi yang diinginkan.
2. Biosekuritas
Selain
vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yang juga merupakan faktor
penting dalam meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Cserep menyatakan bahwa
pada peternakan yang bebas dari Gumboro subklinis akan mendapatkan keuntungan
25% lebih besar, dibandingkan pada peternakan yang ditemukan kasus gumboro
subklinis (Cooper, 2011). Upaya untuk melaksanakan biosekuritas dengan
melakukan desinfeksi terhadap orang, peralatan atau kendaraan yang melintas
antar kandang pada ayam pedaging komersial perlu dikontrol sehingga berjalan
efektif untuk menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol dan formaldehid telah
terbukti efektif digunakan untuk desinfeksi kandang dan lingkungan yang
terkontaminasi. Antibiotik dengan jumlah seminimal mungkin diberikan pada kasus
gumboro (IBD) yang disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Namun hal ini tidak
disarankan pada kasus yang disertai dengan kerusakan ginjal yang sangat parah.
Pemberian larutan elektrolit atau multivitamin sangat bermanfaat pada kasus
penyakit yang berlangsung lama yang disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi
yang baik, suhu ruangan yang hangat dan air minum yang bersih akan mengurangi
kematian. Setelah ayam dipanen, kandang harus dikosongkan dari semua unggas.
Semua litter, sisa pakan harus dibuang, kandang harus dibersihkan dan
didesinfeksi. Fumigasi perlu dilakukan menggunakan formaldehyde dan Kalium
permanganat. Kandang harus dikosongkan minimal 3 minggu setelah dilakukan
fumigasi, untuk dapat digunakan lagi.
KESIMPULAN
Penyakit gumboro (IBD) merupakan penyakit viral yang
bersifat infeksius dan menular, menyebabkan efek imunosupresif. Kerugian
ekonomi yang ditimbulkan sangat besar karena menyebabkan kegagalan program
vaksinasi. Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan perubahan patologik yang
diperkuat dengan deteksi antigen virus dengan teknik IHK. Pencegahan dengan
memberikan vaksinasi telah rutin dilakukan, namun kasus masih sering terjadi.
Penggunaan vaksin yang potensial dan diberikan pada saat antibodi maternal
sudah menurun atau dengan menggunakan vaksin in ovo yang saat ini
sudah dapat ditemukan di pasaran, diharapkan dapat mengurangi kasus yang
terjadi di lapangan. Sudah saatnya dibuat vaksin isolat lokal yang diharapkan
lebih protektif dibandingkan dengan vaksin isolat luar, karena sesuai dengan
virus yang ada di lapang.
Postingan
ini saya resume dari makalah milik :
Wahyuwardani,
S., Agungpriyono, Parede, L., Manulu, w., 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi,
Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Dan Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3.
DAFTAR PUSTAKA
Acribasi, M., A. Jung, E.D.
Heller And S. Rautenschlein. 2010. Differences In Genetic Background Influence
The Induction Of Innate And Acquired Immune Responses In Chickens Depending On
The Virulence Of The Infecting Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Strain.
Vet. Immunol. Immunopathol. 135: 79 – 92.
Asraf, S. 2005. Studies On
Infectious Bursal Disease Virus. Disertasi.The Ohio University. Ohio.
Butcher, G.D. And R.D.
Milles. 2003. Infectious Bursal Disease (Gumboro) In Commercial Broilers. Http://Edis.Ifas.Ufl.Edu. (27 Oktober 2008).
Currie, R.J.W. 2002.
The Use Of A Rt-Pcr/ Rflp Test To Diagnose Ibd Variant Viruses: Implications
For Vaccination Programmes Congresso De Ciências Veterinárias
Proc. Of The Veterinary Sciences Congress, 2002, Spcv, Oeiras,
10 – 12 Oct. P. 249
Cooper, O. 2011. Biosecurity
Key To Beating Gumboro. Poult World 165: 5 Proquest Agriculture J. P. 32.
Hamoud, M.M. And P.
Villegas. 2006. Identification Of Infectious Bursal Disease Viruses From Rna
Extracted From Paraffin-Embedded Tissue. Avian Dis. 50: 476 – 482
Hirai, K, And S. Shimakura.
1974. Structure Of Infectious Bursal Disease Virus. J. Virol. 14: 957 –
964.
Lam, K.M. 1998. Alteration
Of Chicken Heterophil And Macrophage Functions By The Infectious Bursal Disease
Virus. Microb. Pathogen 25: 147 – 155.
Lukert, P.D. And Y.M. Saif.
2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases Of Poultry 11Th Ed. Saif, Y.M., H.J.
Barnes And J.R. Glisson (Eds.). Iowa State University
Press. Pp. 161 – 17.
Moura, L., V.V. Vakharia, M.
Li And H. Song. 2007. In Ovo Vaccine Against Infectious Bursal Disease.
Int. J. Poult. Sci. 6: 770 – 775
Muller, H., M.R. Islam And
R. Raue. 2003. Research On Infectious Bursal Disease-The Past, The Present And
The Future. Vet. Microbiol. 97: 153 – 156.
Oie (Office International
Des Epizooties). 2008. Infectious Bursal Disease (Gumboro Disease). In:
Terrestrial Manual. Chapter 2.3.12
Oladele, O.A., D.F. Adene,
T.U. Obi And H.O. Nottidge. 2009. Comparative Susceptibility Of Chickens, Turkeys
And Ducks To Infectious Bursal Disease Virus Using
Imunohistochemistry. Vet. Res. Commun. 33: 112
– 121.
Parede, L.H., S. Sapats, G.
Gould, M. Rudd, S. Lowther, And J. Ignjatovic 2003. Characterization Of
Infectious Bursal Disease Virus Isolates From Indonesia Indicates The Existence
Of Very Virulent Strains With Unique Genetic Changes. Avian Pathol. 32: 511 –
518.
Park, J.H., H.W. Sung, B.Ii.
Yoon And H.M. Kwon. 2009. Protection Of Chicken Against Very Virulent Ibdv
Provided By In Ovo Priming With Dna Vaccine And Boosting With Killed
Vaccine And Adjuvant Effects Of Plasmid-Encoded Chicken Interleukin-2 And Interferon-Γ.
J. Vet. Sci. 10(2): 131 – 139
Partadiredja, M., W. Rumawas
Dan I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro Di Indonesia Dan Akibatnya Bagi
Peternak Ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33.
Rautenschlein, S., C.H.
Kraemer, J. Vanmarcke And E. Montiel. 2005. Protective Efficacy Of Intermediate And Intermedieate Plus Infectious Bursal Disease Virus
(Ibdv) Vaccines Against Very Virulent Ibdv In Commercial Broilers. Avian Dis. 49: 231 – 237.
Van Den Berg, T.P. 2000.
Acute Infectious Bursal Disease In Poultry: A Review. Avain Pathol. 29: 175 –
194.
William, A.E. And T.F.
Davison. 2005. Enhanced Immunopathology Induced By Very Virulent Infectious
Bursal Disease Virus. Avian Pathol. 34: 4 – 14.