KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP TATA NIAGA SAPI POTONG DI INDONESIA
Rabu, 15 April 2015
Edit
Laju peningkatan populasi penduduk dan perbaikan taraf
hidup masyarakat Indonesia akan mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan
konsumsi menu makanan rumah tangga bertahap mengalami perubahan kearah
peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas
daging, telur dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi
memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pangan
lainnya. Laju peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4,43%, dibandingkan
dengan laju peningkatan produksi sapi potong sebesar 2,33%, maka dalam jangka
panjang diperkirakan terjadi kekurangan produksi akibat adanya pengurasan
ternak sapi yang berlebihan, sehingga masih disuplai dari impor sebesar
8.912.111 ton. Upaya dalam pengendalian populasi dan perngembangan usaha telah
ditempuh oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan dalam rangka mempertahankan
penyediaan daging sapi lokal secara kontinyu.
Kepala Badan Pusat
Statistik (BPS) Suryamin menyatakan, bahwa dalam kurun waktu tiga tahun sejak 1
Juni 2011 hingga 1 Mei 2013 telah terjadi penurunan jumlah populasi sapi dan
kerbau sebesar 15,3 persen di dalam negeri. Akibatnya, pasokan daging sapi dan
kerbau di dalam negeri berkurang, sehingga pemerintah mesti melakukan
importasi. Dari hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat, populasi sapi dan kerbau hingga 1 Mei 2013 sebanyak 14,17 juta
ekor menurun sebanyak 2,56 juta ekor dibandingkan hasil pendataan sapi potong,
sapi perah, dan kerbau tahun 2011 yang sebanyak 16,73 juta ekor.
Lewat pendekatan
usaha pengembangbiakan (breeding) ternak, peningkatan jumlah ternak sapi pasti
terjadi. Pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan kawasan usaha
peternakan dari tindak penggusuran. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan juga mengamanatkan hal ini. Jika perlu,
pemerintah menyediakan lahan tak terpakai di kawasan marjinal bagi pelaku usaha
pengembangbiakan dengan harga sewa yang menarik untuk jangka panjang. Pajak dan
berbagai perizinan harus dipermudah walaupun pemerintah tetap harus
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan izin usaha.
A. Potensi Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Kebutuhan
daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan
pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli
masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu
dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Volume
impor sapi potong dan produk olahannya cukup besar, setara dengan 600−700
ekor/tahun (Bamualim, 2011). Neraca kebutuhan daging sapi yang dihitung
berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk. Ditinjau dari sisi potensi yang ada,
Sulawesi Tenggara selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan
berpotensi menjadi pengekspor produk peternakan. Hal tersebut dimungkinkan
karena didukung oleh ketersediaan sumber daya ternak dan peternak, lahan dengan
berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian sebagai
sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi.
Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat
terkait dengan ketahanan pangan. Jadi jangan heran kalau di Indonesia
ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula,
jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya yang sulit dipisahkan dengan
politik. Jangan heran jika untuk urusan ketersediaan pangan para politisi
bersaing dengan para pedagang dan pencari rente untuk menjadi pengimpor, bukan
pembudi daya sapi.
Pengembangan
peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak
skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi
serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar
memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat
berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan
produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong
(Bamualim, 2011).
Secara
umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah.
Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif
berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Mudikdjo dan
Muladno,1999).
Tawaf
dan Kuswaryan (2006) menyatakan, kebijakan pemerintah dalam pembangunan peternakan
masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya menyulitkan
berbagai pihak, terutama stakeholder. Pertanyaannya bagaimana membuat
kebijakan public yang didasarkan hasil riset dengan melibatkan stakeholder dan
pembuat kebijakan melalui forum dialog, kemudian hasilnya diagendakan sehingga
dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan nasional, regional, dan
internasional.
Menurut
Rustijarno dan Sudaryanto (2006), kebijakan pengembangan ternak sapi potong
ditempuh melalui dua jalur. Pertama, ekstensifikasi usaha ternak sapi potong
dengan menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh
pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit dan parasit
ternak, peningkatan penyuluhan, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan
mutu pakan atau hijauan, dan pemasaran. Kedua, intensifikasi atau peningkatan
produksi per satuan ternak melalui penggunaan bibit unggul, pakan ternak, dan
penerapan manajemen yang baik.
Budi
daya sapi potong telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan ini diatur dalam pasal 29 dan 30.
C. Kebijakan Pemasaran Daging
Sistem
pemasaran ternak sapi (hidup atau daging) di Indonesia pada umumnya sistem jual
beli atau penetapan harga masih dengan metoda tradisional. Di pasar tradisional
sistem jual beli ternak atau penetapan harga masih didominasi dan berdasarkan
kepercayaan diantara pihak-pihak tertentu yaitu para pedagang pengumpul
(tengkulak atau blantik). Dalam menentukan bobot ternak dilakukan dengan
menaksir berdasarkan pengalaman peternak dan blantik, bukan berdasarkan bobot
ternak atau kriteria tertentu. Dominasi blantik dalam pemasaran ternak sangat
nyata baik di pasar-pasar desa maupun kecamatan, bahkan sampai ke kabupaten
atau kota, dimana dominasi margin keuntungan pada umumnya berada pada pedagang,
baik pengumpul atau blantik maupun pedagang besar di sentra konsumen, sedangkan
peternak sebagai produsen ternak hanya mendapatkan margin keuntungan terendah.
Di pasar tradisional, selain sistem transaksi yang belum transparan, bangunan
fisik pasar ternak tempat transaksi berlangsung,masih sangat sederhana dengan
kondisi fasilitas yang terbatas dan belum tertata dengan baik, belum
menggunakan kriteria berat badan maupun menetapkan grade atau klas mutu dan
menggunakan alat ukur (timbangan) sebagai dasar penentuan harga.
Pemasaran
sapi potong dari hasil penggemukan yang dijual bisa dalam bentuk hidup maupun
produk daging . Pasar sapi potong secara umum dibagi 2 yaitu pasar tradisional
dan pasar tertentu seperti pasar swalayan maupun restoran, rumah sakit dan
hotel. Di pasar tradisional, seperti biasa terjadi transaksi pedagang pengumpul
di desa dengan para peternak. Kemudian pedagang pengumpul di desa menjual
ternaknya ke pedagang antar kota atau pedagang pengumpul di kabupaten bahkan ke
pedagang besar di provinsi atau didaerah konsumen yang selanjutnya akan menjual
ternaknya ke pedagang pemotong atau jagal melalui Rumah Potong Hewan (RPH)
untuk diperjualbelikan oleh para pengecer di pasar-pasar tradisional dalam
bentuk daging kepada konsumen.
Pemasaran
sapi potong telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Kebijakan pemasaran diatur pasal 36. Selain itu, untuk
menjaga stabilitas harga daging sapi diatur dalam Keputusan Mentri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 699/M-Dag/Kep/7/2013 tentang Stabilisasi harga Daging
Sapi.
D. Kebijakan Impor
Daging.
Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung
kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan
pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton.
Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18
juta ekor. Kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong
nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik
kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.
Data Direktorat Jenderal Peternakan menyebutkan neraca
produksi daging sapi nasional pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari
proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau Indonesia masih kekurangan
135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi 11,26 juta
ekor produksi daging sapi nasional diperkirakan mencapai 249.925 ton dengan
kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton. Sementara itu
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia
membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara
dengan sekitar 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat
ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi.
E. Kerugian
Kebijakan Impor daging
Dampak yang timbul akibat kebijakan impor daging yang masuk ke Indonesia
antara lain :
1. Masuknya Virus
PMK. Hal ini disebabkan oleh:
a. Berpeluang
masuknya kembali PMK di Peternakan Indonesia. Sejak awal tahun 1990-an hingga
saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE. Dengan demikian
PMK merupakan penyakit eksotik yang perlu diwaspadai. Kebijakan impor daging
dengan tanpa memperhatikan kondisi PMK dari negara asal tentu sama saja dengan
memasukkan (mengimpor) penyakit ke Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena
tidak ada jaminan bahwa daging yang di impor adalah daging yang benar-benar
bebas dari virus PMK. Selain itu, jika mengacu kepada kondisi sistem kesehatan
hewan nasional (siskeswannas) dan sistem kesehatan masyarakat veteriner (siskesmavet)
Indonesia yang masih sangat lemah, potensi ancaman penyebaran PMK di Indonesia
sangat besar. Apalagi proses eradikasi (pemberantasan) jika suatu negara
tertular PMK membutuhkan dana dan waktu yang relatif lama.
b. Menurunkan
produktivitas ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak penderitan
PMK akan menurun. Hal ini juga berpengaruh pada penurunan bobot tubuh ternak.
Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah, dan menelan pakan.
Bahkan pada kasus yang sangat parah ternak tidak dapat makan sama sekali.
2. Kerugian Ekonomi
Kerugian ekonomi bagi peternak dan negara besaran impor
daging sapi telah lama meresahkan beberapa kalangan peternakan Indonesia.
Melihat besarnya potensi bisnis dan ditambah populasi penduduk yang sangat
besar, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi negara-negara penghasil produk
peternakan yang hendak memasukkan produk dagingnya ke Indonesia. Secara ekonomi
makro dampak nyata impor daging ke Indonesia dapat menghancurkan perekonomian
peternak. Bahkan dalam jangka panjang yang terjadi adalah timbulnya pengangguran
dan tingkat kemiskinan baru, serta berkurangnya penerimaan pemerintah dari
pajak yang seyogianya dapat dibayarkan oleh usaha dan industri peternakan. Hal
ini harus dihindarkan karena pengangguran dan kemiskinan yang selama ini masih
menjadi constraints penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan
berdaya saing, dan kehilangan potensi penerimaan pajak akan lebih memberatkan
pelaksanaan program-program pembangunan.
3. Menguras Devisa
Negara
Impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras
devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung
dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan
impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pendapatan peternak
dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam menciptakan
lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan
dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak
Indonesia. Bahkan hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil
bahan hewan, dan pakan ini dapat berpengaruh secara global terhadap pembangunan
peternakan (live stoc building) di suatu negara.
4. Terganggunya
Ketahanan Pangan Nasional Peternakan
Terganggunya ketahanan pangan nasional peternakan
merupakan salah satu sektor penyedia pangan nasional. Hampir sebagian besar
produk bahan asal hewan diproduksi dan disediakan oleh sektor ini. Sehingga
jika sektor peternakan sedang diguncang oleh wabah penyakit (PMK) maka sangat
sulit peternakan, khususnya peternakan sapi, kambing, domba, dan ternak berkuku
genap lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kecenderungan
peningkatan impor daging dan sapi bakalan maupun sapi potong seharusnya tidak
hanya semata-mata karena senjang permintaan dan penawaran. Tetapi, disebabkan
juga karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit,
transportasi) serta harga produk yang relatif murah. Kondisi ini telah
menyebabkan peternak lokal tidak mampu bersaing, atau kurang bergairah karena
harga daging relatif murah.
5. Merusak Usaha
Dan Industri Peternakan Nasional
Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan
merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha dan industri peternakan
dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya
produksi dan biaya lainnya. Hal ini juga dapat menyebabkan ketergantungan
terhadap produk impor akan semakin besar. Akibatnya, ketahanan pangan nasional
terganggu. Padahal, ketahanan pangan merupakan kunci penting dalam membangun
sebuah bangsa.
6. Ketergantungan
terhadap Produk Impor
Daging yang diimpor biasanya mempunyai mutu yang baik
sehingga dagingnya terasa lebih enak dibandingkan daging lokal. Hal ini
menyebabkan kebiasaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging impor tersebut
dan menjadi ketergantungan untuk terus menimpor daging dari negara lain.
Kesimpulan
Kebijakan
Pemerintah terhadap tataniaga sapi potong di Indonesia adalah mengatur
distribusi sapi potong di setiap daerah. Selain itu juga penetapan harga standar
dapat ditentukan dengan adanya kebijakan pemerintah sehingga petani tidak
dirugikan. Ketersediaan daging dalam pasar juga dapat diatur dan terpenuhinya
kebutuhan akan daging sapi.
Apabila ketersedian
daging tidak tercukupi, pemerintah membuat kebijakan impor daging. Kebijakan
ini tentu juga diawasi supaya tidak merugikan peternak di Indonesia. Dampak
buruk dari kebijakan ipor daging antara lain : Masuknya Virus PMK, Kerugian
Ekonomi, Menguras Devisa Negara, Terganggunya Ketahanan Pangan Nasional Peternakan,
Merusak Usaha Dan Industri Peternakan Nasional, Ketergantungan terhadap Produk
Impor.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, AM. 2011. Pengembangan
Teknoligi Pakan Sapi Potong di Daerah Semi-Arid Nusa Tenggara. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Keputusan Mentri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 699/M-Dag/Kep/7/2013 tentang Stabilisasi harga Daging Sapi.
Kuswaryan, 2006. Kendala Kecukupan
Daging. Prosiding Seminar Nasional Universitas Diponegoro. Semarang.
Mudikdjo, Muladno. 1999. Pembangunan
Industri Sapi Potong pada Era Pasca Krisis. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Rustijarno, S. dan B. Sudaryanto. 2006.
Peningkatan Ketahanan Pangan melalui Kecukupan Daging Sapi. Prosiding Seminar
Nasional Universitas Diponegoro. Semarang.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.